Cerpen - Jual DIri
EKA DEWI LESTARI
UNIVERSITAS JEMBER
JUAL DIRI
Aku melangkahkan kaki menuju tempat yang dahulu tak pernah kudatangi sama sekali. Tempat yang sangat asing bagiku, tempat yang sangat suci yang mungkin tak pantas ada aku di dalamnya. Tubuhku yang sangat kotor ini, apakah masih bisa diakui sebagai hamba-Nya. Tuhanku yang masih memberikan kehidupan sampai sekarang. Orang-orang melihatku dengan tatapan yang aneh. Apakah ada yang salah di pakaianku atau rambutku yang kucat pirang dan kubiarkan tergerai ini? Aku terhenti ketika ada seorang anak perempuan yang memanggilku dengan sebutan Ibu.
“Ibu!!!” teriaknya.
Aku menoleh kearahnya. Ia adalah anakku semata wayang yang menjadi alasanku untuk memberanikan diri menuju tempat suci ini. Dia datang, memelukku dengan erat seperti tak ingin berpisah denganku lagi. Aku menangis tersedu-sedu. “Nak maafkan ibumu yang kotor ini.” sahutku. Tangisanku terdengar oleh seorang wanita paruh baya yang sengaja mendatangi kami dan menanyai kami.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. Mohon maaf mengganggu, Bu. Kalian kenapa menangis di depan masjid? Ada apa bu ? cah ayu?” tanyanya. Aku berusaha menenangkan diriku terlebih dahulu, lalu menenangkan putriku yang masih menangis karena berjumpa denganku setelah sekian lama kutinggalkan.
“Waalaikumsalam. Maafkan saya, Bu. Saya malah menangis di sini.” Sambil mengusap air mataku. Wanita paruh baya itu adalah seorang Ustadzah dari Pondok Pesantren yang terkenal di daerah tempat tinggalku.
“Mari ikut saya, Bu. Ibu bisa ceritakan semuanya kepada saya. Mari!” sambil mengajakku dan putriku ke rumahnya.
Sesampainya di sana, beliau mengambil segelas air putih untuk menenangkanku dan putriku. “Coba ceritakan apa yang terjadi pada ibu dan santri saya? Apa hubungan kalian?” Penasaran yang ia rasakan mungkin sudah menggebu-gebu. Dengan basmalah, aku mulai seluruh cerita kehidupan burukku di masa lalu.
“Sebelumnya perkenalkan saya Ratri dan ini putri semata wayang saya, penyemangat hidup saya, Laras. Saya adalah seorang wanita penghibur bahkan saya tidak tahu siapa ayah kandung Laras. Semua kejadian ini terjadi begitu cepat. Saya terobsesi dengan uang yang diberikan oleh pelanggan saya. Semua berawal dari perekonomian keluarga saya. Sewaktu itu saya masih berumur 19 tahun. Pendidikan saya sangat rendah, hanya lulusan SD. Saya anak pertama dari 7 bersaudara. Sebagai kakak tertua, saya harus membantu kedua orang tua saya. Hingga pada suatu, adik ketiga saya mengalami kecelakaan. Ia harus segera dioperasi. Sewaktu itu, saya dan kedua orang saya kebingungan untuk mencari uang. Kamipun rela berhutang ke rentenir.”
Aku hentikan sejenak ceritaku lalu meminum seteguk air putih pemberian dari Ustadzah itu. Kemudian kulanjutkan lagi sembari mengingat hal buruk yang sudah kualami. Waktu itu, aku dalam keadaan yang sangat sulit. Aku menyendiri di pojok kamarku dengan mengingat perkataan dari Ayah. Aku akan di jual di suatu tempat kotor, yang tak akan pernah sudi kudatangi tempat itu.
“Ayah memohon kepadamu Ratri, untuk bersedia ayah jual di tempat Mami Barbie. Ayah berjanji, ayah akan menebusmu kembali.” Mohonannya kepadaku.
“Biarkan aku berfikir terlebih dahulu, Yah!” Jawabku. Di sisi lain, aku ingin menyembuhkan adikku, tapi tidak dengan cara ini. Setelah dua hari, aku belum memberikan keputusan. Aku mendapat kabar dari ayah jika keadaan adikku sudah semakin memburuk.
“Ayah.” Aku berjalan menuju Ayahku yang baru saja selesai melaksanakan sholat Ashar.
“Ayah.. setelah aku berfikir. Aku bersedia, Yah. Aku bersedia bekerja di tempat Mami Barbie.” Dengan berat hati, aku harus bisa menyingkirkan egoku demi keselamatan adikku.
“Apa benar, Nak? Ayah berjanji akan segera menebusmu!” Sambil merangkulku. Rasa gembira dan tak ingin kehilangan pun terpancar diwajah ayah.
Ke esokkan harinya, aku bersiap-siap dengan membawa beberapa stel bajuku. Ayahku mengantar ke tempat Mami Barbie. Perjalanan menuju tempat kotor itu mungkin sekitar 2 jam-an. Aku melamun sambil memikirkan, bagaimana nasibku jika aku tinggal di tempat itu? Sampai kapan? Aku ingin menjadi anak dan kakak yang berguna bagi keluargaku. Aku harus menyingkirkan egoku toh di sana aku kerja sebagai babu, tidak sebagai pelacur.
Sesampainya di tempat itu, Ayah dan Mami Barbie bertemu. Entah apa yang mereka bicarakan? Lalu ayah menerima segepok bingkisan coklat –yang mungkin berisi uang jutaan rupiah untuk operasi adikku. Lalu ayah menghampiriku dan berkata.
“Maafkan ayahmu yang tidak sempurna, Nak. Maafkan ayah. Ayah terpaksa harus berbuat ini kepadamu.” Ayah mengeluarkan air mata sambil memelukku.
Sebelumnya, aku tidak pernah melihat ayah sesedih ini. Tetapi aku harus kuat. Lalu ayah pergi sambil sedikit-sedikit menoleh kepadaku. Kulambaikan tangan sebagai arti perpisahan kepada ayah.
Hari pertama berada di rumah mami Barbie, aku diantar ke kamarku. Setelah itu, aku membersihkan diri. Mami Barbie mendatangi kamarku dan memberiku beberapa baju-baju yang minim.
“Heh Ratri, cepat ganti pakaianmu itu dengan baju ini. cepat pilih dan segera pakai.” Bentaknya kepadaku.
“Untuk apa Mami? Bukankah aku dikirim ke sini untuk menjadi pembantu.” Jawabku.
Sambil menjambak rambutku dan tangan mami Barbie menunjuk-nunjuk ke depan wajahku. “Pembantu? Hahahaha.. Kamu itu dijual ke sini sebagai pelacur. Kamu akan membuatku kaya raya karena kecantikan yang kamu miliki. Jelas, para pelangganku akan memilihmu.”
Aku terkejut mendengar perkataan dari mami Barbie. Pantas saja tadi ayah berpamitan sambil meminta maaf, ternyata aku dijual untuk dijadikan pelacur di sini. Seketika aku marah kepada ayah, emosiku memuncak.
Setiap hari aku menerima pelanggan laki-laki hidung belang yang tak bertanggung jawab, yang tak ingat anak dan istrinya di rumah. Hingga pada suatu ketika, aku merasa ada yang aneh dalam tubuhku. Setelah aku pergi ke apotek dan membeli tespack. Aku tahu bahwa ternyata aku sedang mengandung. Aku merasa kebingungan dan siapa yang harus bertanggung jawab. Anak siapa ini?
Mendengar hal itu, Mami Barbie marah besar kepadaku karena aku dinilai tidak bisa menjaga untuk tidak hamil. Seketika aku diusir dari tempat itu.
Beberapa bulan aku hidup sendirian. Aku tak mampu jika aku harus pulang. Keluargaku pasti malu untuk menerima keadaanku sekarang. Setelah itu, aku melahirkan putri yang sangat cantik sekali. Aku beri nama pelangi. Aku tidak mungkin merawatnya dengan keadaanku yang sekarang ini.
Lalu kutempatkan ia di suatu tempat yang bisa merawat dan mendidiknya dengan benar. Kuselipkan kalung yang berisi fotoku saat menggendongnya. Di balik foto itu, terdapat pesan yang aku sampaikan untuk orang yang menemukannya.
“Siapapun engkau yang merawat putriku, aku mohon rawat ia seperti putri kalian. Buat putriku bahagia. Dia bernama Pelangi karena matanya bersinar seperti pelangi. Ia akan membawa kegembiraan untuk semua orang.”
“Seperti itulah ceritanya Ustadzah. Aku sekarang bangga melihat anakku tumbuh dewasa dan mampu membuat kegembiraan untuk semua orang.” Aku tersenyum. Kupeluk putriku dengan erat.
“Aku di sini mempunyai mata-mata yang diperintahkan untuk menjaga dan mengikuti perkembangannya. Aku juga sering dikirimkan fotomu, Nak. Di sini ibu tidak ingin memaksamu untuk pulang ke rumah. Bulan depan, ibu akan mengajakmu dan ustadzah untuk berangkat Umroh. Aku mohon untuk tidak menolaknya ustadzah.” Ustadzah menangis mendengar ajakanku. Beliau sangat berterimakasih dengan apa yang telah kuberikan.
Lalu aku, putriku, ustadzah, dan semua keluargaku berangkat umroh dengan bahagia. Kebahagiaan ini yang sudah kunanti-nantikan selama 17 tahun. Tentunya, dengan kesuksesanku menjadi pengusaha tanpa harus mengungkit masa lalu kelamku. Terimakasih Tuhan. Engkau berikan harta yang tak ternilai harganya, harta yang membuatku bahagia di masa-masa tuaku. Memiliki putri dan keluarga yang lengkap. Semoga kebahagiaanku ini tidak pernah berakhir.
Komentar
Posting Komentar