Naskah Drama Dayang Sumbi

 

 

 

 


DAYANG SUMBI

dari cerita rakyat Sangkuriang

Penulis Naskah : Triandika Kirani

 

 

 

 

 

 

Tokoh

Dayang Sumbi (Rarasati)

Jaka (Sangkuriang)

Ratu Parahyangan

Ki Tumang

Nyi Odah

Nyi Tati

Nyi Malati

Nyi Lata

Kang Harja

Prajurit kerajaan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BABAK 1

Di Taman Kerajaan, Dayang sumbi menyulam sendirian.

DESAS-DESUS KECANTIKAN PUTRI KERAJAAN PARAHYANGAN SEMAKIN SANTER TERDENGAR. RATU PARAHYANGAN TAK HENTI MENYAMBUT BAIK KEDATANGAN PANGERAN YANG DATANG UNTUK MEMINANG PUTRINYA. WALAUPUN, TIDAK ADA YANG PERNAH MEMPEROLEH TANGGAPAN. DAYANG SUMBI, LEBIH MEMILIH SENDIRI DI TAMAN DAN MELAKUKAN SUKANYA PADA KAIN-KAIN YANG TERBENTANG DI PANGKUAN. SEMENTARA BISIK-BISIK WARGA KERAJAAN MENYUSUP SEPERTI ANGIN, MEMBUATNYA DILEMA ANTARA KEBEBASAN DAN KEHORMATAN KERAJAAN.

 

Dayang Sumbi           : (menyanyi) Taman ini, tempat kusulam bahagia

menjadi kain yang penuh mimpi dan warna

saat bisikan angin mengabarkan Parahyangan.

Para pangeran datang, meminang dengan harapan

tapi di hatiku, hanya ingin kebebasan.

Aku Dayang Sumbi, terjebak dalam dilema

Mengapa aku harus memilih, antara tradisi dan bahagia?

Aku bertanya pada bunga yang tak bicara

Apakah ada jalan lain, untukku meraih kebebasan?

Saat suara hati kalah akan tuntutan dan kehormatan

Di sinilah aku bercerita

mengenai jalan takdir yang tak bisa kuubah.

Nyi Odah                    : “Sstt…kadieu Tati, lihat tuh! kadieu. Dayang Sumbi masih saja sendiri. Apa tidak takut, nanti makin lama disebut perawan tua?”

Nyi Tati                      : “Hush. Jangan keras-keras, Odah. Bisa-bisa kita dipenggal nanti. Tapi benar. Eh salah. Dayang Sumbi itu masih muda, Odah. Tapi..... iya aneh. Geulis gitu, kok masih sendiri?”

Nyi Odah                    : “(tertawa) Iyakan, atau mungkin, dia tidak mendengar gosip orang-orang di pasar kerajaan tentang dirinya. Sudah banyak pangeran datang, eh pemilih sekali.”

Nyi Tati                      : “Bagaimana mau dengar, kau saja melihatnya. Putri, masih sibuk dengan kain-kainnya. Padahal, lebih seru menjahit hubungan kan daripada menjahit kain.”

Dayang Sumbi           : “Kemarilah Ni. Aku mendengar kalian, tak perlu berbicara di belakang.”

Nyi Tati                      : “Eh i..iya (menghampiri Dayang Sumbi).”

Dayang Sumbi           : “Ada apa membicarakanku?”

Nyi Tati                      : “Hehe, maaf Putri, jika kami keterlaluan. Tapi, begini Putri, kami ini...emm..sedikit khawatir. Putri begitu cantik dan pintar. Tetapi, mengapa sampai sekarang belum ada tanda-tanda mau menikah?”

Nyi Odah                    : “Apakah Putri tidak mau segera menikah dan meneruskan keturunan kerajaan? Sudah banyak orang yang menantikan kabar ini Putri.” 

Dayang Sumbi           : “Mengapa semua orang begitu peduli mengenai kapan aku menikah?. Mengapa aku harus menikah di usia muda?”

Nyi Odah                    : “Yaa, biar cepat punya keturunan yang akan meneruskan garis darah kerajaan”

Nyi Tati                      : “Benar itu Putri. Biar tidak sendirian juga di masa tua. Kalau sendirian, nanti Putri tidak bahagia, tidak ada pendamping hidup.”

Dayang Sumbi           : “Kebahagiaan itu, bisa didapat dari mana saja, tidak selalu datang dari pernikahan. Tidak perlu terburu-buru, lebih baik kita bersenang-senang di sini.”

Nyi Odah                    : “Tidak perlu Putri, kami permisi dulu.”

 

Nyi Odah membawa Nyi Tati pergi meninggalkan taman karena melihat Ratu yang menghampiri Dayang Sumbi.

 

Ratu Parahyangan    : “(berdehem) Putriku Dayang Sumbi, aku ingin berbicara denganmu.”

Dayang Sumbi           : “Ibu, ada apa?”

Ratu Parahyangan    : “Apakah kau tahu? Masyarakat mulai membicarakan kita, dan topik pembicaraan mereka tidak semuanya baik.”

Dayang Sumbi           : “Aku tahu Ibu. Abaikan saja ucapan mereka.”

Ratu Parahyangan    : “Tidak semudah itu bagiku. Aku seorang Ratu. Banyak yang mengatakan bahwa kau terlalu pilih-pilih. Ini membuat mereka meragukan keputusanku.”

Dayang Sumbi           : “(menundukkan kepala, berbicara pelan) Ibu, aku masih sangat muda untuk menikah. Aku belum siap mengambil dan menanggung keputusan besar ini.”

Ratu Parahyangan    : “Jangan khawatir, kamu bukanlah rakyat biasa. Banyak pangeran yang datang melamar menawarkan kekayaan, kehormatan, dan kesetiaan. Apakah kamu masih ragu?”

Dayang Sumbi           : “Ibu, aku tidak membutuhkan seseorang yang hanya menikahi statusku. Aku ingin seseorang yang mengerti dan bisa melihat ketulusanku. Apakah itu terlalu berlebihan?”

Ratu Parahyangan    : “Dayang Sumbi, aku tidak ingin memaksamu, tapi aku juga tidak tahan mendengar hal-hal buruk dari rakyatku. Segera ambillah keputusan demi kerajaan dan demi dirimu sendiri.”

Dayang Sumbi           : “Ibu?”

Ratu Parahyangan    : “Ingatlah kesepakatan minggu lalu. Pertemukan aku dengan orang yang kamu inginkan atau temui pangeran yang datang melamarmu.”

Dayang Sumbi           : “Tapi, Ibu...”

Ratu Parahyangan    : “Dayang Sumbi!”

Dayang Sumbi           : “Baik, Ibu. Aku akan bertemu pangeran.”

 

Setelah berlalunya Ratu Parahyangan. Dayang Sumbi berwajah murung. Terdiam dan menengadah   melihat burung-burung terbang ria. Seolah tak mengerti beban pikirannya.

 

Dayang Sumbi           : (menyanyi) Ibu memaksa, memilih jalan yang tak kuharapkan

Sang Hyang Tunggal, beri aku jalan

Aku hanya ingin hidup dengan kebahagiaan

tapi dunia memberi pilihan kejam

Adakah jalan yang bebas tanpa hati yang terluka?

mengapa aku tak seperti burung yang bebas

Sang Hyang Tunggal, beri aku petunjuk

Di usia muda , banyak hal ingin kulakukan

Haruskah kutinggal mimpi demi jalani takdir kerajaan?

Sang Hyang Tunggal, tolong

beri aku jawaban

 

Suasana kerajaan yang indah dengan tamannya, tidak membuat Dayang Sumbi tenang. Dia berjalan, menunggu, dan bertingkah cemas. Wajahnya menunjukkan kegelisahan, setelah melihat Ratu Parahyangan dan laki-laki yang belum pernah dilihatnya.

 

Ratu Parahyangan    : “Dayang Sumbi, kemarilah. Aku ingin memperkenalkan tamu kita. Ini Ki Tumang, pangeran yang datang dari negeri jauh.”

Ki Tumang                 : “Salam hormat, Putri. Saya Ki Tumang. Saya telah mendengar kecantikan dan kebaikan Putri di sepanjang perjalanan, karena itu saya datang dengan niat ingin meminang, jika Ratu Parahyangan berkenan.”

Ratu Parahyangan    : “Tentu Ki Tumang. Saya menerima lamaran ini dengan senang hati. (beralih menatap Dayang Sumbi) Bagaimana Putriku?”

Dayang Sumbi           : “(ekspresi berubah sejenak) Ibu.....saya tidak akan menolak keputusan ini. Tetapi, saya meminta waktu untuk mengenal Ki Tumang lebih baik dan jangan umumkan terlebih dahulu ke seluruh kerajaan!”

Ratu Parahyangan    : “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku tidak akan langsung mengumumkannya. Namun ingat, kau tetap harus memenuhi janji.”

Dayang Sumbi           : “Terima kasih, Ibu.”

 

Ratu berlalu, memberi waktu untuk kisah mereka yang baru.

 

Ki Tumang                 : “Setiap bunga bermekaran di musim semi seperti sekarang dan sepertinya bunga-bunga ini dirawat dengan hati-hati. Apakah Putri sering menghabiskan waktu di sini?”

Dayang Sumbi           : “Ya, taman ini adalah tempat yang aku suka sejak kecil. Aku merasa lebih bebas dan bunga-bunga ini seperti teman yang selalu mendengarkan, meski tak pernah bicara.”

Ki Tumang                 : “Aku bisa mengerti itu. Dibandingkan manusia lainnya, alam terkadang lebih mengerti isi hati kita dan mampu menjadi teman.”

Dayang Sumbi           : “Tampaknya, Ki Tumang juga terbiasa dengan kesendirian. Apakah hidup dalam perjalanan membuat Ki Tumang merasa lebih bebas?”

Ki Tumang                 : “Aku pengembara yang mencari tempat pulang. Menginginkan kebebasan kala berteman kesepian. Hingga menjejakkan diri di Parahyangan yang tak disangka telah kutemukan tempat pulang.”

Dayang Sumbi           : “Banyak yang lihat rupa luar, tanpa tahu isi hatiku. Seringkali mereka memujiku sebagai putri kerajaan yang nyatanya hanya manusia tak punya pilihan. Mengapa kau datang melamarku?”

Ki Tumang                 : “Kabar burung sering kudengar tentang cantik dan baikmu. Namun, aku datang bukan hanya untuk rupa luar, karena itu biarkan kutahu sejatimu,  biarkan kutemukan dirimu yang tersembunyi.”

Dayang Sumbi           : “Tak ada pilihan, tapi berusahalah dan kan kucoba meski perlahan.”

BERSAMA                : “ Inilah awal kisah kita yang tak pasti. Aku akan mencoba, dan aku pun kan menunggu. Kuharap kita sama temukan arti, meraih kebebasan dalam kebersamaan.”

 

BABAK 2

Di Taman Kerajaan

DAYANG SUMBI YANG HARUS MEMENUHI JANJINYA MULAI MEMBUKA HATI PADA KI TUMANG. WAKTU BERJALAN DENGAN KISAH MEREKA YANG SALING BELAJAR MENGHADAPI KEBEBASAN DI TAMAN KERAJAAN. TEMPAT YANG DIPENUHI BUNGA BERWARNA-WARNI DAN SAKSI PENGENALAN MEREKA. NAMUN, ANGIN YANG BERHEMBUS LEMBUT, BELUM TENTU SUASANA SAMA RINGAN. PERJALANAN MEREKA DIPERTANYAKAN, KETIKA JUJUR MENJADI KUNCI YANG MEMISAHKAN.

 

Ki Tumang                 : “(menghela napas panjang) Dayang Sumbi, ada kebenaran yang aku sembunyikan darimu. Aku bukanlah pangeran seperti yang pernah kukatakan pertama kali datang ke kerajaan ini.”

Dayang Sumbi           : “Apa maksudmu, Ki Tumang? dan siapa dirimu sebenarnya?”

Ki Tumang                 : “Aku... adalah dewa yang menjalani hukuman. Aku dipisahkan dari istriku dan dikirim ke dunia manusia ini karena kesalahan yang telah aku perbuat.”

Dayang Sumbi           : “Jadi, selama ini... semua dusta? Kau memiliki istri? dan bukanlah pangeran yang mengembara?”

Ki Tumang                 : “Aku tak berniat memperdayaimu, Dayang Sumbi. Tetapi seiring waktu, aku menemukan kedamaian bersamamu. Itu membuatku merasa ada harapan... meskipun aku tahu, aku tidak pantas untuk berharap lebih.”

Dayang Sumbi           : “(menahan air matanya, suaranya berubah menjadi tegas namun tersirat kekecewaan) Jadi, kau membiarkan aku percaya bahwa akhirnya ada seseorang yang tulus. Tetapi ternyata, semuanya hanyalah kebohongan! Mengapa, Ki Tumang?”

Ki Tumang                 : “Aku takut kau akan menjauhiku. Aku ingin kau mengenal diriku yang sesungguhnya.”

Dayang Sumbi           : “Aku merasa dipermainkan, seperti aku tidak pernah punya kendali atas hidupku sendiri! Ketika akhirnya aku mulai membuka hati, ternyata kau.. membawa rahasia yang menghancurkan harapan kecilku.”

Ki Tumang                 : “Dayang Sumbi, aku tidak bermaksud melukaimu. Jika ada yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahan ini...”

Dayang Sumbi           : “Ini bukan soal penebusan, Ki Tumang. Ini tentang kebenaran yang kau sembunyikan dariku, tentang bagaimana setiap pilihan dalam hidupku selalu diambil oleh orang lain. Aku hanya ingin punya kendali atas hidupku sendiri.”

 

Ratu Parahyangan tengah berjalan ketika tanpa sengaja mendengar percakapan mereka. Ratu yang mendengar pengakuan Ki Tumang, berubah marah. Gejolak amarahnya begitu menakutkan. Membuatnya memanggil pengawal yang kemudian menangkap Ki Tumang.

 

Ratu Parahyangan    : “Prajurit!!!”

 

Dayang Sumbi memohon pada Ratu untuk tidak terperangkap dalam amarah namun tanpa mendengarkan, Ratu mengayunkan pedangnya, dan tubuh Ki Tumang terjatuh tak bernyawa. Dayang Sumbi hanya bisa terdiam, seluruh tubuhnya gemetar, melihat tubuh Ki Tumang yang kini tergeletak di tanah dingin.

 

Dayang Sumbi           : “(berirama) Selama ini aku hanya diam karena terikat oleh aturan dan takdir yang ditentukan. Tapi kini, aku tahu pasti, bahwa hidupku hanya aku yang harus memilih. Masa depanku adalah hakku. Bukan milik Ibu, bukan siapa pun. Hanya aku. Biarkan aku bebas, pergi mencari jalanku di dunia yang luas. Biarkan aku pergi. Tak ingin lagi terikat oleh masa lalu ini.”

Ratu Parahyangan    : “(berirama) Yang kulakukan semua ini, hanya untukmu. Demi kehormatan dan masa depanmu. Tapi, kini aku tahu, kebahagiaanmu ternyata tak ada di tanganku. Aku merelakanmu pergi, mencari jalan hidup yang kau pilih sendiri. Biarkan takdir mengalir seperti air dan kita berpisah di sini.”

Dayang Sumbi           :  “Terima kasih, Ibu... Namun....aku... aku mengandung”

Ratu Parahyangan    : “(terkejut, tetapi tidak menunjukkan amarah seperti sebelumnya. Hanya terdiam sejenak, menyadari betapa berat beban yang kini ditanggung putrinya) Putri, ini bukan jalan yang mudah bagimu. Jika orang-orang kerajaan tahu tentang ini....”

Dayang Sumbi           : “Aku tahu, Ibu. Itulah mengapa aku ingin pergi. Aku akan mengasingkan diri ke tempat yang tak ada seorang pun mengenalku sebagai putrimu. Aku akan membesarkan anak ini sendirian.”

Ratu Parahyangan    : “Jika itu keinginanmu, aku tidak akan memberi tahu siapapun. Demi menjaga kehormatanmu, dan kerajaan ini.”

Dayang Sumbi           : “Terima kasih, Ibu. Setidaknya, untuk pertama kalinya aku bisa memilih jalanku sendiri.”

 

BABAK 3

Di depan rumah Rarasati dan Jaka

BEGITULAH AWAL YANG TERJADI, MEMBENTUK DAYANG SUMBI MENJADI RARASATI. PEREMPUAN TANGGUH DAN TEGAS ITU, KINI TINGGAL DI GUBUK SEDERHANA DI UJUNG DESA. MENJALANI HARI-HARI SEBAGAI IBU DARI PUTRA BERNAMA JAKA.

 

Rarasati                      : “(menghela napas panjang) Jaka, berhenti sejenak. Istirahat dulu.”

Jaka                            : “(tersenyum sambil menyeka keringat di dahinya) Iya, Ambu. Rasanya, Jaka ingin segera menyelesaikan semua ini. Agar potongan kayunya bisa segera Ambu gunakan.”

Rarasati                      : “Terima kasih. Kamu selalu rajin, Nak. Tetapi ingatlah, hidup bukan hanya tentang kerja keras. Ada saatnya kamu harus memberi waktu istirahat bagi diri sendiri.”

Jaka                            : “(menyandar di pangkuan Rarasati) Tapi......Ambu, Jaka masih belum paham, kenapa kita tinggal di desa ini? Padahal, Jaka sering dengar dari orang-orang bahwa Ambu bukan berasal dari sini.”

Rarasati                      : “Desa ini memang bukan tempat asal kita. Tapi, ada alasan kenapa kita harus tinggal di sini.”

Jaka                            : “Alasan apa? Bukankah kita bisa tinggal di tempat lain yang lebih baik? Jauh dari orang-orang yang suka menghina kita.”

Rarasati                      : “Terkadang, memilih tempat tinggal bukan sekadar soal kenyamanan, Jaka. Ambu memilih desa ini agar hidup tenang dan jauh dari kehidupan lain yang mungkin lebih menyakitkan.”

Jaka                            : “(mengernyit) Apa maksud Ambu? Kehidupan seperti apa yang lebih menyakitkan dari ini? Di sini, Jaka dihina setiap hari. Apakah menurut Ambu ini lebih baik?”

Rarasati                      : “Ambu tahu kamu merasakan kesulitan. Tapi percayalah, tempat ini jauh lebih aman. Ambu ingin melindungimu, Jaka. Setidaknya, di sini kita bisa hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang mungkin bisa lebih membahayakanmu.”

Jaka                            : “(masih bingung) Jadi, Ambu sengaja memilih desa ini karena ingin melindungi Jaka? Tapi dari siapa?”

Rarasati                      : “Belum saatnya kamu tahu semua jawabannya, Nak. Oh iya, letakkan sedikit kayunya di tungku. Ambu akan memasak.”

Jaka                            : “Baik Ambu. (setelah meletakkan, kembali ke depan lagi) Apakah sayur itu mau dicuci? Biar Jaka bantu.”

Rarasati                      : “Tidak perlu, Ambu yang akan mencucinya.”

Jaka                            : “Apa lagi yang bisa Jaka bantu?”

Rarasati                      : “Kamu belum istirahat, lebih baik istirahat dulu.”

Jaka                            : “Tidak apa-apa Ambu. Jaka bisa pergi ke sungai untuk mencari ikan.”

Rarasati                      : “Baiklah. Tapi ingat, jangan terlalu jauh ke hilir, arusnya kadang bisa deras tanpa peringatan dan segera kembali. Ibu akan menyiapkan sayuran ini untuk kita makan nanti. Hati-hati di jalan.”

Jaka                            : “Iya Ambu. Jaka akan hati-hati. Jaka pergi dulu.”

 

Rarasati melanjutkan mencuci sayuran. Sebelumnya, diam-diam seorang laki-laki terus memantaunya dan seperginya Jaka, dia mulai mengganggu.

 

Kang Harja                : “(mendekati Rarasati) Eh, Rarasati, kumaha damang? Sepertinya hari ini cerah sekali, ya? Tapi, akan lebih cerah lagi kalau aku bisa mampir ke rumahmu sebentar, bagaimana?”

Rarasati                      : “(terlihat risih) Kalau tidak ada keperluan penting, saya mohon jangan mengganggu.”

Kang Harja                : (tertawa kecil) Wah, jangan keras gitu, dong. Kayaknya kamu butuh teman buat ngobrol. Aku bisa jadi teman yang baik, lho. Nanti kita bisa ngobrol-ngobrol di dalam. Siapa tahu kamu butuh bantuan masak atau...bantuan yang lain?”

Rarasati                      : “Maaf, Kang, tapi saya tidak butuh bantuan apa-apa.”

Nyi Lata                     : “(datang dari belakang dengan langkah besar bersama Nyi Malati, wajahnya penuh kemarahan melihat mereka) Eh, eh, eh! Harja! Ngapain lagi kamu di sini. Suamiku bersama perempuan tak tahu malu! Dia ganggu suamiku (menunjuk Rarasati). Kamu pikir kamu siapa? Suamiku jangan kau goda”

Rarasati                      : “(menghela napas panjang) Nyi Lata, tenang dan tolong dengarkan.

Aku tak pernah menggoda dan mendekati. Tolong hentikan tuduhan ini. Aku hanya ingin kedamaian dan tak lebih.”

Nyi Lata                     : “(tertawa sinis, melipat tangan di dada) Eh, urang desa ge kabeh apal, kamu ini suka pasang muka manis di depan laki-laki. Diem-diem kayak orang baik. Padahal di balik itu, kamu cuma mau cari perhatian! (berbalik ke arah Nyi Malati) Betul, Nyi Malati?”

Nyi Malati                  : “Betul itu. Rarasati ini memang jago menggoda. Setiap ada laki-laki, selalu pasang wajah manis. Nggak heran suami-suami pada tertarik.”

Rarasati                      : “Saya tidak pernah menggoda siapa pun. Tolong berhenti menyebar fitnah. Saya hanya ingin hidup tenang di sini bersama anak saya.”

Nyi Lata                     : “Ini bukan fitnah! Perempuan yang tak tahu malu, datang ke desa ini, tiba-tiba sudah melahirkan anak tanpa suami. Entah dari mana asalnya. Tidak jelas siapa bapaknya.”

Nyi Malati                  : “Ya ampun, masa iya, Nyi Lata? Anak haram, ya? Kasihan anaknya. Tumbuh besar tanpa tahu siapa ayahnya. Nanti jadi apa coba?”

Kang Harja                : “(tertawa, mencoba mencairkan suasana tanpa merasa bersalah) Ah, tenang-tenang. Sudahlah, sudahlah. Nyi Lata, kita pulang saja. Nyi Malati, kau juga balik kandang.”

 

Rarasati tetap diam di tempatnya, melihat kepergian mereka. Dirinya masih tertekan oleh gosip dan hinaan yang baru saja diterima. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara langkah kaki cepat dari putranya.

 

Rarasati                      : “Jaka? Ada apa? Cepat sekali kamu kembali, dan.. apakah kamu marah?”

Jaka                            : “Anak haram! Itu yang mereka panggil pada Jaka! Kenapa? Kenapa mereka selalu menghina Jaka?”

Rarasati                      : “Jaka... Nak, tenang dulu.”

Jaka                            : “Kenapa mereka selalu menghina kita? Mereka bilang aku anak haram. Tanpa ayah, tanpa nama dan kau disebut penggoda. Hinaan, setiap hari, setiap kali kubertemu mereka. Beri aku penjelasan. Katakan Ambu, katakan! Aku berhak tahu yang sebenarnya.”

Rarasati                      : “Sabarlah, Nak. Orang-orang tak tahu apa yang terjadi dan bicara tanpa hati.”

Jaka                            : “Sabar? Sampai kapan, Ambu? Setiap hari, aku dihina. Mereka tak pernah berhenti dan yang paling membuatku gila kenapa Ambu tak pernah bicara? Siapa ayahku? Aku ingin tahu!”

Rarasati                      : “Jaka, Ambu sudah bilang sebelumnya. Ada hal-hal yang tidak perlu kamu ketahui sekarang. Ambu melakukan ini semua untuk melindungimu.”

Jaka                            : “Melindungi? Apa ini yang Ambu sebut melindungi? Membiarkan Jaka dihina setiap hari tanpa tahu apa-apa? Jaka berhak tahu! Kenapa Ambu selalu diam? Siapa ayah Jaka, Ambu?”

Rarasati                      : “Jaka, Ambu tidak bisa memberitahumu sekarang. Kamu harus percaya pada Ambu. Percayalah, Ambu selalu ingin yang terbaik untukmu.”

Jaka                            : “Percaya? Bagaimana Jaka bisa percaya kalau Ambu tidak pernah bilang apa-apa? Semua orang di desa ini tahu bahwa Jaka anak haram, tapi Jaka tidak tahu apa-apa tentang ayah! Apakah aku memang anak haram, Ambu?”

Rarasati                      : “Jaka, jangan bicara seperti itu. Kamu bukan anak haram. Ambu tidak pernah menyembunyikan kebenaran. Ada alasan untuk semuanya.”

Jaka                            : “Alasan apa, Ambu? Alasan apa yang bisa menjelaskan semua ini?”

Rarasati                      : “Jaka... Ambu mohon, jangan paksa Ambu sekarang. Ini bukan saat yang tepat.”

Jaka                            : “Tidak ada saat yang tepat, Ambu! Jaka sudah cukup menderita! Katakan sekarang siapa ayah Jaka........Atau... Ambu tidak tahu siapa ayah Jaka? Apakah Jaka benar-benar anak haram?”

Rarasati                      : “(Terkejut mendengar ucapan Jaka, dengan tiba-tiba, mengangkat tangan dan tanpa sadar memukul Jaka dengan wadah dari tempurung kelapa) Sudah cukup, Jaka! (Terkejut dan merasa bersalah) Jaka... maafkan Ambu... Ambu tidak bermaksud... Jaka! Jaka, jangan pergi! (berusaha mengejar Jaka yang berlari menjauh) Jaka.. Maafkan Ambu... Jaka....”

 

Pukulan itu menimbulkan keterkejutan bagi mereka. Rarasati tidak percaya dengan dirinya yang lepas kendali. Jaka kecil yang belum pernah melihat Ambunya semarah itu, memilih pergi dengan kepala yang terluka. Pergi yang dirasa sementara, memakan waktu yang membuat Rarasati menunggu lama. Hingga menjelang petang, Jaka tidak kembali lagi. Menangis di depan gubuknya, ditemani angin malam berhembus lembut yang seolah turut merasakan kesedihan. Rarasati terus menatap jalan setapak. Namun, harapan semakin pudar seiring dengan berlalunya waktu.

 

Dayang Sumbi           : (menyanyi) Pukulan itu sungguh tak kusadari 

Ini pertama kali, amarahku menghancurkan hati

Sekarang Jaka pergi, sedang aku terpaku di gubuk sepi

Waktu berjalan, petang pun menjelang

Angin malam menemani, seolah merasakan

Aku terjebak dalam penyesalan gelap malam

Semakin jauh menanti, harapan pun memudar

Jaka, anakku, di mana kau kini?

Ambu menunggu, merindukan senyummu yang hilang

Aku menangis sendiri, di bawah sinar bulan

Sesal hati ini, saat kau jauh dariku

Bisakah kau kembali, membawaku pada terang?

Karena Ambu merindukan pelukanmu, sayang

Rarasati                      : “Jaka...di mana kamu sekarang, Nak? kembalilah... Maafkan Ambu... Ambu tidak bermaksud menyakitimu. Ambu hanya ingin melindungimu.... Sang Hyang Tunggal... aku mohon, Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku rela melakukan apapun, asal aku bisa bertemu dengan Jaka lagi.”

 

BABAK 4

Depan Rumah Rarasati dan Jaka

Hari demi hari berlalu. Rarasati terus hidup dalam kesendirian dan kesedihannya. Berharap suatu hari Jaka akan kembali. Namun, suatu hari bukan Jaka yang tiba melainkan prajurit kerajaan yang datang menghadapnya. Rarasati yang tampak tetap muda dari usianya memandang prajurit itu dengan heran dan terkejut begitu mendengar kabar Ratu Parahyangan.

 

Prajurit                      : “(menunduk hormat) Maafkan saya, Nyi. Saya datang membawa pesan dari kerajaan. Gusti Ratu sedang tidak baik dan membutuhkan kehadiran Nyi segera.”

Rarasati                      : “Ibu? Prajurit, antar aku kembali ke kerajaan!”

Prajurit                      : “Baik, Nyi. Saya akan mengantar Nyi dengan cepat ke kerajaan.”

 

BABAK 5

Wilayah pemukiman penduduk

HARI BERLALU DAN MUSIM KEMBALI SEMI DALAM DUA DEKADE. WILAYAH KERAJAAN SEMAKIN INDAH, DITAMBAH DENGAN MUNCUL SEORANG PEMUDA GAGAH DAN TAMPAN. KEHADIRANNYA LANGSUNG MENARIK PERHATIAN, TERUTAMA PARA PEREMPUAN. DUA PEREMPUAN PARUH BAYA, NYI ODAH DAN NYI TATI, TAK BISA MENAHAN DIRI UNTUK MENGGODA SANG PEMUDA TAMPAN.

 

Nyi Odah                    : “Eh, Tati, lihat itu pemuda gagah datang dari mana, ya? Rupanya seelok tokoh wayang turun gunung.”

Nyi Tati                      : “Tampan sekali. Titisan Arjuna kali ya?”

Nyi Odah                    : “(tertawa) Ayo samperin. Duh, Kakang... mau ke mana? Siapa namanya?”

Sangkuriang              : “Aku Sangkuriang. Sang pengembara yang melintasi alam. Baru sampai di kerajaan ini. Tidak berniat apa-apa selain menikmati keindahan.  Lebih suka sendiri, tak ingin mencari perhatian, masalah, atau gangguan di sini. ”

Nyi (Odah & Tati)     : “Selamat datang di Kerajaan Parahyangan, yang terkenal bukan hanya karena pemandangan, perempuannya pun elok rupawan. Maukah kami temani jalan? Biar tak tersesat atau kesepian.”

Nyi Odah                    : “Katakan ya! Pada sambutan kami, karena inilah cara kami menyambutmu dengan senang hati. Atau ayo ngobrol saja, biar kau tak merasa sendiri. Jangan diam, nanti tak dapat cinta. Sayang dengan parasmu yang menawan. Setidaknya dapat satu istri Parahyangan.”

Nyi Tati                      : “Dengan ketampananmu, pilih saja yang kau mau. Gadis atau janda? Kalau gadis tak ada, janda seperti aku pun bisa. Anak sembilan, tak apa kan?”

Sangkuriang              : “Terima kasih, Nyi, tapi kumohon biarkan aku sendiri, permisi.”

 

Sangkuriang mencoba melangkah pergi, namun sebelum ia benar-benar bisa melarikan diri dari Nyi Odah dan Nyi Tati, matanya tak sengaja melihat sosok Dayang Sumbi di kejauhan. Ia sedang berjalan bersama prajurit kerajaan di belakangnya. Menampilkan keanggunan dan kecantikan yang menarik perhatian Sangkuriang secara tiba-tiba.

 

Sangkuriang              : “(berhenti seketika dan terpaku) Siapa... itu?”

Nyi Odah                    : “(tertawa keras) Itu Dayang Sumbi, putri kerajaan kita. Cantik, kan? Tapi hati-hati, jangan terlalu berharap, Kang! Dia putri raja.”

Sangkuriang              : “(tetap terpaku pada sosok Dayang Sumbi) Dayang Sumbi...”

Nyi Tati                      : “(tertawa) Coba saja Kang kalau berani, tapi jangan kaget kalau Dayang Sumbi gak mau lirik-lirik Kakang.”

Sangkuriang              : “Dia itu Dayang Sumbi? Putri kerajaan?”

Nyi Tati                      : “Sstt. Iya, Kang, dia itu Dayang Sumbi. Pujaan hati banyak orang di sini. Tapi gimana ya... bukan sembarang orang yang bisa mendekatinya. Banyak pangeran kaya dan gagah ke sini, tapi nggak ada yang berhasil.”

Sangkuriang              : “Tapi... Bagaimana caranya aku bisa melihat Dayang Sumbi lagi?”

Nyi Odah                    : “Wah. Dayang Sumbi itu nggak sering muncul. Hari ini kebetulan saja dia keluar. Biasanya dia lebih suka tinggal di dalam kerajaan.”

Nyi Tati                      : “Kalau ingin bertemu, ketika kerajaan ada acara. Dayang Sumbi pasti hadir dan kelihatan. Tapi, kalau Kakang ingin bertemu langsung, coba saja....hmm... di taman kerajaan. Kadang dia suka menyendiri di sana.”

Sangkuriang              : “Taman kerajaan?”

Nyi Odah                    : “Iya, dia kadang ada di taman. Coba saja ke sana. Tapi ingat, dia tegas, tidak mudah tertarik pada laki-laki.”

Sangkuriang              : “Tidak masalah. Terima kasih, Nyi. Kalian banyak membantu.”

Nyi Tati                      : “Semoga beruntung, Kang! kalau sudah berhasil, ajak kita ya untuk pesta-pesta.”

Nyi Odah                    : “Iya. Kalau ditolak, kita juga bisa nampung.”

 

BABAK 6

Di taman kerajaan

Sangkuriang tersenyum sekilas, kemudian berbalik dan segera pergi menuju taman kerajaan. Sangkuriang berpikir, mungkin Dayang Sumbi akan berada di sana. Tiba di taman kerajaan, benar saja dia melihat Dayang Sumbi tengah duduk ditemani prajurit yang tidak jauh darinya. Sangkuriang datang dengan langkah ringan, mendekatinya dengan penuh rasa penasaran.

 

Sangkuriang              : Wilujeng siang, Putri. Maaf mengganggu. Saya kebetulan lewat, taman ini terlihat begitu damai, bolehkah saya duduk?”

Dayang Sumbi           : Wilujeng siang. Tidak apa-apa, taman ini memang terbuka untuk semua. Siapa namamu? sepertinya, baru kali ini aku melihat.”

Sangkuriang              : “Nama saya Sangkuriang, Putri. Pengembara yang baru tiba di kerajaan ini.”

Dayang Sumbi           : “Pengembara? Sudah berapa lama mengembara?”

Sangkuriang              : “Cukup lama, Putri. Saya telah mengembara dari satu tempat ke tempat lain, belajar banyak hal dari alam dan guru-guru yang saya temui di jalan.”

Dayang Sumbi           : “Pasti banyak pelajaran yang kamu peroleh dari pengembaraan itu. Apa yang membawamu ke Parahyangan?”

Sangkuriang              : “Saya banyak mendengar bahwa kerajaan Parahyangan adalah tempat yang penuh keindahan, dan benar, kini saya melihatnya sendiri. Selain itu, tentu saja... saya juga mendengar kisah tentang Dayang Sumbi yang terkenal dengan kecantikannya (tertawa kecil) dan ternyata, kisah-kisah itu tidak berlebihan.”

Dayang Sumbi           : “Terima kasih, tapi aku hanyalah seorang yang sederhana. Kecantikan bukanlah sesuatu yang abadi.”

Sangkuriang              : “Benar, Putri. Namun, ada kecantikan dalam setiap hal yang sederhana. Bahkan alam yang paling liar sekalipun memiliki keindahan tersembunyi.”

 

~Intrumen romantis, aktor hanya bercakap-cakap, tidak menyanyi~

Percakapan pertama itu mengalir ringan dan tidak terasa hari sudah semakin larut. Mereka tetap duduk bersama, membicarakan hidup dan petualangan. Hingga secara tidak sengaja, Dayang Sumbi melihat bekas luka di dahi Sangkuriang. Bekas luka itu membuatnya teringat pada Jaka, putranya yang hilang bertahun-tahun lalu.

 

Dayang Sumbi           : “(melihat bekas luka itu dan tiba-tiba terdiam, suaranya bergetar) Luka di dahimu... bagaimana kamu bisa mendapatkannya?”

Sangkuriang              : “Ah, ini. Luka lama. Saya tidak ingat banyak, hanya ingat kalau luka ini karena kecelakaan kecil.”

Dayang Sumbi           : “Luka itu... sangat mirip dengan luka Jaka, anakku yang hilang bertahun-tahun lalu. Dia juga memiliki bekas luka di tempat yang sama.”

Sangkuriang              : “Putri.....sudah memiliki putra? Saya hanya tahu bahwa Putri tidak pernah menerima lamaran pemuda maupun pangeran.”

Dayang Sumbi           : “Tidak ada yang mengetahui hidupku.”

Sangkuriang              : “Maaf, Putri. Tapi, saya juga tidak kenal dengan Jaka. Saya tidak pernah mendengar nama itu. Saya hanya tahu bahwa saya adalah Sangkuriang, pengembara yang sejak kecil hidup di alam.”

Dayang Sumbi           : “Tapi, bagaimana jika kamu adalah Jaka? Rarasati, itulah nama yang aku gunakan ketika hidup di desa. Kamu tidak ingat apa pun?”

Sangkuriang              : “(menggeleng dengan tegas) Tidak, Putri. Saya tidak pernah mendengar nama itu. Saya hanya tahu bahwa saya Sangkuriang dan saya datang ke sini karena... saya jatuh cinta padamu.”

Dayang Sumbi           : “(tertegun, suaranya hampir tidak keluar) Cinta...? ini tidak mungkin. Aku tidak bisa menerimanya”

Sangkuriang              : “(mengangguk mantap) Benar, Putri. Saya jatuh cinta sajak awal melihatmu. Niat hati ingin menikah dan hidup bersamamu. Apapun akan saya lakukan, asal kau menerima. Jangan anggap saya hanya pengembara! Cinta akan saya buktikan dengan tindakan bukan hanya ucapan.”

Dayang Sumbi           : “Jika kau memang mencintaiku, ada satu syarat yang harus kau penuhi. Dalam satu malam, buatlah danau dan kapal besar untukku. Jika kau bisa, aku akan menikah denganmu.”

Sangkuriang              : “Baik, Putri. Saya akan melakukannya. Syarat itu akan terpenuhi sebelum fajar menyingsing.”

 

Sangkuriang pergi, meninggalkan Dayang Sumbi yang terkejut. Dia menyadari bahwa Sangkuriang mungkin benar-benar memiliki kekuatan yang tak biasa, dan Dayang Sumbi mulai dilanda ketakutan.

 

Dayang Sumbi           : “Bagaimana mungkin dia bisa menyelesaikan syarat itu? Jika benar dia anakku, aku tak bisa membiarkan ini terjadi... Aku harus mencari cara untuk menghentikannya.”

 

Dayang Sumbi berjalan mondar-mandir. Wajahnya terlihat tegang dan bingung. Dia tidak memiliki cara untuk menghentikan Sangkuriang. Namun, prajurit yang selalu  berada di dekatnya menanggapi dengan memberi cara.

 

Prajurit                      : “Putri, ada cara untuk menghentikan dia. Kita bisa menciptakan ilusi bahwa fajar telah tiba lebih cepat. Dengan mengibarkan kain merah besar di arah timur dan menyalakan api besar untuk memantulkan cahaya ke langit. Jika kain itu dikibarkan dan api menyala terang, langit akan terlihat seolah-olah fajar sudah datang. Ayam-ayam akan berkokok, dan Sangkuriang akan mengira waktu sudah habis.”

Dayang Sumbi           : “Itu ide yang bagus! Lakukan itu. Lakukan sekarang sebelum semuanya terlambat!”

 

(Di taman kerajaan)

Prajurit bekerja cepat dibantu Dayang Sumbi. Kain merah berukuran besar mereka kibarkan dan api menyala terang di belakangnya. Langit di arah timur telah berubah kemerahan. Membuat ayam berkokok dan menandakan Fajar telah datang. Dayang Sumbi tampak lega. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba terdengar langkah cepat dan keras yang berasal dari Sangkuriang. Kemarahannya meluap, Sangkuriang berlari kembali menuju kerajaan dengan amarah dan kekecewaan.

 

Sangkuriang              : “Dayang Sumbi, apa yang kau lakukan? Kau memberiku syarat mustahil. Ketika aku hampir menyelesaikan, kau hancurkan semuanya! Ini tipu daya. Fajar lebih cepat karena kau curang. Kau tidak ingin aku berhasil, bukan? Kenapa Dayang Sumbi? Kenapa kau takut aku menang?”

Dayang Sumbi           : “Sangkuriang, fajar adalah kehendak alam. Aku tak pernah bermaksud menipumu. Tapi kenyataannya, kita memang tak bisa bersama. Kau adalah anakku, anak yang hilang bertahun-tahun lamanya. Lihatlah luka di dahimu. Saat melihatnya, aku tahu kau anakku. Aku ibumu, kau darah dagingku. Kita tak bisa bersama, ini salah, kau harus mengerti”

Sangkuriang              : “Anakmu? Sudah kubilang, aku bukan Jaka. Aku Sangkuriang, tanpa ibu, tanpa masa lalu. Tak bisa dipercaya, kau bukan ibuku! Bagaimana mungkin? Kenangan itu tak ada dalam diriku. Aku Sangkuriang, bukan anak yang hilang!”

Dayang Sumbi           : “Ingatan itu terkubur dalam hatimu. Mungkin karena waktu, mungkin karena rasa sakit. Tapi aku tahu! Jauh dalam hatimu kau mengingatku. Aku ibumu, kau anakku, kita tak bisa bersama.”

 

LATAR TIBA-TIBA GELAP. SATU-PERSATU TOKOH MASUK DAN CAHAYA BERGANTI TEMARAM. SATU CAHAYA TERANG MENERANGI DAYANG SUMBI DI TENGAH SEBAGAI PUSAT PERHATIAN. MEMBUKA MONOLOG TENTANG HATI DAN SEGALA YANG TERPENDAM.

 

“Aku Dayang Sumbi, hidup dalam jalan yang bukan pilihanku. Sejak muda, mereka bilang aku beruntung karena menjadi Putri Kerajaan. Tapi kebebasan? Aku tak pernah bisa. Pernikahan muda... dipaksakan atas nama kehormatan dan tradisi. Di desa, perundungan tak berhenti. Aku dihina, disebut penggoda, perempuan tanpa suami, seolah tak layak dihormati.”

 

“Jaka, anakku, Ambu ingin melindungimu, tapi... Mereka menyebutmu anak haram, menghina tanpa henti. Maafkan Ambu. Kau pergi, dan kini kembali. Tapi, kau adalah darahku, bukan pria yang seharusnya menikah denganku.”

 

“Hidup penuh pilihan, tapi tak semua benar. Beranilah berkata tidak pada pernikahan dini, perundungan, dan pelecehan. Setiap anak punya mimpi, setiap orang berhak dihormati.”

 

~ending dengan OST~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antologi Puisi : "Rest Area"

Rahasia sebuah Kata