RESENSI FILM: LOVELY MAN

 


        Lovely Man, sebuah film drama garapan sutradara Teddy Soeriaatmadja yang dirilis pada tahun 2011. Salah satu film terbaik Indonesia ini, sempat dikecam oleh beberapa pihak karena mengangkat isu sosial yang cukup sensitif di Indonesia. Tak hanya itu, Lovely Man juga menampilkan adegan-adegan yang menurut saya cukup berani. Seperti adegan dewasa dan adegan ketelanjangan. Namun terlepas dari kontroversinya, hingga kini Lovely Man adalah salah satu film Indonesia yang masih suka saya tonton ulang karena banyak sekali nilai-nilai dan pesan moral yang bisa kita ambil. Mendapat predikat salah satu film Indonesia terbaik bukan tanpa alasan, melainkan meskipun tak ditayangkan dengan durasi yang lama di bioskop, tetapi film ini berhasil mendapatkan banyak penghargaan. Penghargaan- penghargaan yang berhasil diraih oleh film Lovely Man yaitu penghargaan Citra sebagai Best Film, Maya Awards, Indonesia Movie Awads, dan masih banyak penghargaan lainnya di kancah festival film internasional.

        Lovely Man sendiri bercerita mengenai seorang gadis remaja bernama Cahaya yang nekat pergi ke Jakarta untuk menemui ayahnya. Dari sini, kedengarannya cukup simple. Dan premis sederhana ini lah yang membuat saya tertarik untuk menonton film Lovely Man. Mencari tahu apa sih alasan dari nekatnya Cahaya untuk menemui ayahnya yang telah lama tidak ia jumpai, meskipun tak mendapatkan restu dari sang ibu. Terlebih lagi penampilan Cahaya yang digambarkan sebagai seorang gadis berjilbab, lulusan pesantren, dan seorang gadis dengan vibes “perempuan baik dan polos” rasa-rasanya jika tidak ada alasan kuat dibalik kenekatannya, maka tak mungkin bagi gadis seperti Cahaya untuk menentang ibunya.

        Setelah nekat pergi dengan berbekal alamat bapaknya di Jakarta yang entah itu benar atau tidak, akhirnya setelah mencari, bertemulah Cahaya dengan Saiful (ayahnya). Yang walaupun setelah bertanya kesana-kemari nama Bapaknya bukan lagi Saiful melainkan Ipuy. Tanpa rasa curiga, kepolosan Cahaya pada akhirnya membawanya pada kenyataan, bayangannya atas sosok Bapak seketika berbeda 180̊ketika sosok Bapak yang ditemuinya ternyata sudah berbeda jauh dari sosok yang selama ini ia bayangkan. Saiful atau Ipuy adalah seorang waria yang setiap malam bekerja di pinggir jalan, menjajakan kenikmatan sesaat.

        Pertemuan pertama antara ayah dan anak itu berlangsung cukup menegangkan dan penuh drama. “Saya ingin ketemu sama Bapak”, itulah jawaban Cahaya ketika Ipuy bertanya kenapa dia susah-susah datang ke Jakarta untuk menemuinya. Menanggapi hal itu, Ipuy mengajukan sebuah syarat, bahwa setelah pertemuan ini Ipuy ingin hubungan mereka putus, Ipuy ingin pertemuan ini adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Dan dari sini Cahaya hanya punya waktu semalam untuk mengenal lagi Bapaknya.

        Lovely Man, menurut saya pribadi adalah salah satu film yang menitikberatkan ceritanya pada dialog. Dan tak semua film dengan tipe seperti ini itu asik untuk ditonton. Karena saaat film itu fokus pada dialog, maka mau tidak mau kita dipaksa untuk fokus mengikuti setiap alur yang disajikan. Dan inilah yang membuat kebanyakan film seperti ini terasa membosankan. Tapi tidak dengan film Lovely Man, saya sebagai penonton, serasa ikutan diajak untuk “ikut campur”,larut dalam obrolan dan secara tidak sadar bagaikan telah menjadi bagian dari hubungan kasat mata antara Ipuy dan Cahaya. Dan dari sini, saya sadar bahwa setiap film itu memiliki ciri khasnya masing-masing untuk membuat kita jatuh cinta. Menurut saya, kenapa kita bisa ikut merasakan apa yang terjadi antara Ipuy dan Cahaya, tidak lain dan tidak bukan karena setiap obrolannya bukan lontaran kalimat-kalimat yang sulit dicerna, melainkan kalimat-kalimat biasa, yang tidak dipaksakan untuk puitis ataupun terdengar bijak, melainkan dialog yang dengan sendirinya tampil elegan karena terangkai dari luapan emosi dan hati sebagai ungkapan atas segala hal setelah 15 tahun terpisah dan kini juga harus terpisah oleh “perbedaan”.

        Semakin lama, nantinya obrolan yang disajikan antara Ipuy dan Cahaya akan semakin berat. Jawaban rasa penasaran saya mengenai alasan terbesar Cahaya nekat menemui bapaknya membuat saya tercengang. Meskipun awalnya sudah tertebak dan menaruh rasa curiga, tetapi tetap saja saat rasa curiga yang saya miliki terhadap Cahaya benar-benar terjadi, rasanya saya tetap tidak bisa percaya. Namun lagi-lagi, yang membuat saya terkesan “Lovely Man” sendiri adalah sebuah film yang diciptakan tidak untuk mengadili kesalahan, tetapi malah berusaha memperbaiki kesalahan tersebut dengan caranya sendiri. Pengembangan karakter antara Ipuy dan Cahaya sangatlah keren, dimana pada akhirnya menciptakan sebuah chemistry yang terasa aneh namun juga terasa nyaman dalam satu waktu. Didukung oleh akting yang luar biasa antara 2 pemain utama, hal ini menjadi daya magis tersendiri yang menjadikan film ini semakin bagus dan menarik. Lovely Man adalah sebuah film sederhana yang sangat natural dan memiliki kesan tidak dibuatbuat atau sok bijaksana dalam menyampaikan segala pesan moral yang ingin disampaikan. Pesan moral yang ada dapat diambil kapan saja, tanpa ada paksaan dan dengan sendirinya dapat dimengerti.

        Tak bosan-bosannya saya akan mengatakan bahwa Lovely Man adalah salah satu karya terindah yang pernah saya tonton. Hal-hal didalamnya begitu rapi, cantik, dan harmonis. Pengambilan shot-shot dari tiap scene sangat indah dan dicampur dengan ikatan emosi yang terjalin antara Ipuy dan Cahaya membuat suasana didalam film sangat hidup. Lovely Man berhasil menyajikan Panorama Malam Kota Jakarta dengan suasana melankolis. Jakarta yang terkenal sebagai kota yang keras, berubah menjadi selembut hati Ipuy yang lama-lama melunak, menjadi latar belakang manis yang menemani perkenalan-ulang yang singkat antara ayah dan anak. Lagilagi durasi 1 jam 16 menit tidak cukup bagi saya untuk say goodbye pada “Lovely Man”. Saya benar-benar tidak rela untuk berpisah dengan Ipuy dan Cahaya.

        Saya sangat berterimakasih kepada Teddy yang telah mengenalkan kisah yang begitu membekas di hati saya. Sebuah cerita yang mengajak saya untuk mengenal kehidupan para transgender yang biasanya jika di “film lainnya” atau dikehidupan nyata hanya dijadikan bahan lawakan, disini mereka dijadikan sebagai pemeran utama, diperlakukan layaknya manusia. Dari film ini saya belajar banyak sekali mengenai hubungan antara ayah dan anak, mengenai pentingnya menjaga pergaulan, dan yang paling penting adalah untuk tidak menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya saja. Sebuah film yang membuat saya menangis, terharu, bahagia dan merasakan perasaan baru yang membuat saya merasakan perasaan yang campur aduk adalah hal yang tidak bisa kita dapatkan disemua film. Dan inilah salah satu kelebihan dari Lovely Man hingga menjadi salah satu film favorit saya hingga kini. Ending dari Lovely Man awalnya membuat saya bingung dan merasa gamang, namun lama kelamaan hal itu malah menjadi daya tarik, dan pada akhirnya menjadi ending yang sangat logis. Dan karena alasan-alasan itulah Lovely Man mendapatkan rating yang tinggi dari saya pribadi yaitu 9,9/10. Yang belum nonton, harus nonton.

Jember, 30 Maret 2022 



11.22

 
-Sejatinya, terlepas dari bagaimanapun penampilan seseorang, kita tidak memiliki hak untuk menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya saja. Yang terlihat baik belum tentu putih. Dan yang terlihat buruk bentum tentu hitam. Dan terlepas dari segala hal yang terjadi, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki diri-


Alvina Octaviani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Drama Dayang Sumbi

Antologi Puisi : "Rest Area"

Rahasia sebuah Kata