Andam Karam
Andam Karam
Oleh: Otaa
“Bukankah dia sangat malang? Harus kehilangan
penglihatan diulang tahunnya yang ketujuh belas, lalu bersamaan dengan itu
orang tuanya juga tiada.” ucap seorang wanita paruh baya dengan tampilan yang
sangat amat glamor.
“Hahahaha
bukankah itu memang pantas dia dapatkan? Dia gadis yang angkuh! Bahkan dengan
keadaan yang seperti itu, aku dengar dia masih saja sombong dan meolak segala
bantuan disekitarnya. Dia memecat banyak pelayan hanya karena kesalahan kecil.
Perilakunya bertambah buruk. Mengerikan” timpal wanita paruh baya yang lain.
“Benarkah?
Jika aku jadi orang tuanya, maka keputusanku untuk tiada adalah benar. Kudengar
dia adalah aib bagi keluarganya, dia anak hasil selingkuhan. Aiiiish, aku tidak
menyangka kehidupan orang kaya sangatlah rumit. Untung saja bibinya masih mau
merawat gadis itu sekaligus mengelola perusahaan peninggalan ayahnya. Jika aku
jadi keluarganya, aku buat dia mati saja. Apa lagi dengan sikap yang buruk
seperti itu, aku tidak akan tahan” ucap yang lain. Dari jauh tampak seorang
gadis muda dengan gaun hitam yang tampak menahan amarah, tangannya menggenggam
gelas dengan erat.
“Aura….
Kemari sebentar sayang” panggil wanita yang masih terlihat sangat cantik dan
memukau diusianya yang tak lagi muda. Wanita itu adalah Laksmi, bibi Aura. Bersamaan
dengan panggilan dan ajakan itu, terdengar suara keras yang berasal dari gelas
yang telah Aura banting kuat di atas meja.
“Jika
kemari hanya ingin mempermalukanku, jangan pernah mengundangku! Aku buta bukan
tuli! Jangan kira aku tidak tau apa keinginanmu. Acara amal? Ciiih. Aku tau
kamu hanya ingin menunjukkan pada mereka betapa menyedihkannya keadaanku
sekarang.” ucap Aura dengan nada rendah yang terdengar menakutkan.
“Sayang..
maksud kamu apa? Jangan selalu berburuk sangka, bibi sangat menyayangimu. Pesta
ini juga untukmu. Bibi khawatir karena kamu tidak pernah muncul 4 tahun
belakangan, bibi ingin kamu bersosialisasi. Kamu sudah 25 tahun sekarang,
mengertilah” ucap Laksmi lembut.
“Lihatlah,
sudah kubilang sikapnya sangat buruk”
“Kenapa
bukan dia saja yang mati dalam kecelakaan itu!”
“Pembawa
sial”
“Untung
anak gadisku tak seperti dia”
“Aish…
dasar tidak tau diuntung”
Dan
bisikan-bisikan lain yang terdengar meremehkan pun terus berlanjut memenuhi
satu ruangan. Mendengar itu Aura tak bisa lagi membendung emosinya. Tangannya
menarik taplak meja dengan kuat, menyebabkan seluruh gelas dan piring yang
berada diatasnya berantakan. Tanpa pikir panjang, ia lemparkan gelas yang jatuh
ke pangkuannya kearah kerumunan yang menggunjingnya secara terang-terangan.
“Sekali
lagi kalian bergunjing akan aku sobek mulut kalian semua satu persatu! ALBERT!
(memanggil dengan kencang) ANTAR AKU PULANG” ucap Aura penuh penekanan disetiap
katanya. Setelahnya, Albert pun datang dan segera menuntun Aura keluar dari
ruangan. Albert adalah kaki tangan ayahnya dulu. Dia sudah kenal Aura sejak
Aura masih bayi. Sebelum kedua orang tuanya meninggal, dia berjanji akan selalu
berada disisi Aura, dan menjaga gadis itu dimanapun.
Setelah
kejadian itu, orang-orang yang berada disana terkejut dengan sikap Aura.
Dibalik wajahnya yang terkesan lembut, tak mereka sangka bahwa gadis dengan
perawakan ramping itu akan berbuat hal yang berlebihan seperti ini. Suasana
hening, bahkan Laksmi pun yang melihat perbuatan ponakannya secara langsung
hanya diam tak bergeming. Seperti yang ia duga, Aura bukanlah gadis yang biasa.
Meski memiliki kekurangan, selama ada Albert disampingnya dia bukanlah lawan
yang bisa diremehkan.
“Ah…
mari kita lanjutkan acaranya. Maafkan keponakanku, dia tidak biasanya begini. Jiwanya
masih terguncang hingga kini, dan sepertinya semakin parah. Aku harap kalian
dapat mengerti” kata Laksmi sambil mengusap pipinya yang basah.
“Nyonya…
kau terlalu baik” jawab orang-orang disana dengan tatapan prihatin. Mereka
menatap Laksmi dengan pandangan iba.
Disisi
lain nampak Aura yang telah berada didalam mobil. Ekspresinya sekarang tak bisa
ditebak. Perlahan, ia buka kaca mobil disebelahnya, membiarkan semilir angin
masuk, membelai rambut panjangnya yang hitam legam. Albert tau, gadis itu
sedang sedih dan pasti tengah memikirkan segala ucapan orang-orang di pesta itu.
Meski ia tak pernah melihat Aura menangis lagi 4 tahun belakangan ini, ia tahu
jika gadis itu pasti akan memikirkan kembali kejadian yang menimpanya 8 tahun
yang lalu. Dan setelah itu, Albert tau jika gadis itu akan semakin membenci
dirinya sendiri.
“Nonaaa
anda baik-baik saja?” tanya Albert setelah rasa khawatirnya tak bisa ia bendung
lagi. Namun karena tak mendapat jawaban, ia pun memutuskan untuk menepi. Lalu menyerahkan
coklat pada Aura, untuk membuat gadis itu merasa lebih baik.
“Aku
tidak menyuruhmu berhenti! Terus berkendara! Berhentilah peduli” ucap Aura
setengah membentak. Mendapat respon yang demikian, Albert kembali menghidupkan
mesin mobil dan menyetir dengan pelan.
“Anda
sudah saya anggap seperti putri saya sendiri Nona. Saya sudah merawat anda
sejak kecil. Meski anda tidak bercerita, saya tahu anda dengan baik. Nona Aura
yang saya kenal bukan seperti yang mereka bicarakan. Jangan dengarkan apapun yang orang lain katakan.
Saya…”
“Cukup!
Tidak usah didengarkan katamu? Apakah sekarang kau ingin aku tuli juga?” potong
Aura.
“Saya
tau tanpa menjelaskan lebih jauh pun, anda pasti tau maksud saya apa” jawab
Albert seraya menambah kecepatan. Dia menutup kaca yang tadinya dibuka oleh
Aura. Angin malam tak baik untuk kesehatan Nonanya.
Sesampainya
dirumah Albert langsung mengantarkan Aura ke kamarnya. Ia membantu Nonanya
duduk dikasur, mengganti lampu utama dengan lampu tidur, dan tak lupa menutup
pintu setelah keluar dari ruangan. Setelah Albert tiada, Aura diam tak
bergeming. Tatapan matanya yang kosong mulai berkaca-kaca. Namun, sebelum air
mata itu menetes, Aura segera mengusapnya kasar. Tak akan ia biarkan dirinya
menangis lagi. Ia tidak ingin terlihat lemah. Perlahan ia berjalan menuju piano
yang berada disudut kiri kamarnya. Tangannya yang lentik memainkan melodi yang
terdengar tak beraturan.
Dulu,
saat ia masih memiliki penglihatan yang sehat, jarinya yang cantik sangat
piawai dalam memainkan tuts-tuts piano sehingga terciptalah melodi yang indah.
Aura adalah seorang pianis yang hebat. Dia telah tertarik pada piano saat
usianya masih 3 tahun. Dan seiring berjalannya waktu impiannya menjadi seorang
pianis semakin hari semakin kuat. Memiliki pertunjukan resital piano dipinggir
pantai yang indah adalah salah satu impian terbesar Aura.
“(tersenyum
pahit) jika sampai saat ini resital itu tetap menjadi impianku, maka aku akan terlihat
semakin bodoh” setelah berbicara sendiri, jarinya semakin cepat dalam menekan
tuts piano, menghasilkan melodi yang semakin keras dan tak beraturan untuk
didengar. Setelah puas melampiaskan emosinya, ia bergerak menuju meja kecil,
tangannya meraih intercom yang ada disana.
“Pindahkan
piano yang berada dikamarku ini secepatnya. Jika setelah aku mandi benda ini
masih ada maka pekerjaan kalian adalah taruhannya” ucap Aura yang kemudian
lekas pergi kekamar mandi. Mendengar hal ini melalui intercom, pelayan
dirumahnya pun segera menuju kekamar Aura. Albert yang mendengar perintah
nonanya kali ini, merasa tercubit hatinya.
Waktu berlalu, dan keadaan Aura
masih sama. Kali ini ia pergi untuk berjalan-jalan di taman sekitar rumahnya
tanpa pengawal. Sebagai gantinya ia membawa Pixe, anjing jenis Samoyed yang
menjadi pengawalnya jika Albert tidak ada. Setelah berjalan hampir sejam, ia
memutuskan untuk kembali. Tak seperti biasa, hari itu ia masuk melalui pintu
belakang. Disana dia mendengar percakapan yang seharusnya tak ia dengar.
“Aku tau Laksmi, aku tau bahwa aku
juga bersalah dalam kematian kedua orang tuanya! Tapi apa kau tahu, kejadian
dipestamu itu membuatnya tersakiti kembali. Mendengar perintahnya untuk
mengeluarkan piano itu dari kamarnya membuatku merasa sangat bersalah. Kamu
telah menghancurkan mimpinya. Aku memang mencintaimu Laksmi, untuk itu aku
tutupi perbuatanmu yang sebenarnya. Tapi aku tak bisa lagi, caramu merenggut
mimpi Aura sudah jauh diluar batas. Aku akan mengungkapkan segalanya” ucap
Albert dengan air mata yang turun deras membasahi pipinya. Sayangnya Aura tak
bisa melihat itu, ia tak bisa melihat penyesalan Albert.
Setelah mendengar hal itu, Aura sangat
terkejut. Air mata yang tak pernah ia keluarkan lagi, kini mengalir dengan
deras. Aura membiarkan dirinya menangis dalam diam. Setelah terdengar langkah
kaki yang semakin menjauh, Aura pun keluar dari persembunyiannya. Tubuh
mungilnya luruh menyentuh tanah. Ia menangis sejadi-jadinya. Orang yang sangat
ia percaya, berani menghianatinya.
Setelah puas menangis ekspresi menakutkan
muncul diwajahnya. Ia memasuki rumah besar itu dengan tampilan yang kacau,
membuat pelayan yang ada disana terkejut tak kecuali Albert yang langsung sigap
menghampiri Aura.
“Nona….” Ucap Albert, namun
sebelum selesai bicara Aura meraba wajahnya kemudian menamparnya dengan keras.
“Mulai hari ini…. Kamu saya pecat! Pergi
kemasi barangmu!!” potong Aura dengan suara yang lantang. Mendengar perkataan
Aura, Albert terkejut. Ia bertanya-tanya apakah nonanya mendengar percakapannya
dengan Laksmi? Namun karena tak mau Aura semakin banyak memecat pelayannya,
Albert segera keluar dari rumah yang selama ini ia jadikan tempat untuk
mengabdi dan membayar kesalahannya.
Sebulan telah berlalu begitu
cepat. Semenjak kejadian itu berlalu Aura semakin tak tersentuh, ia membatasi
dirinya dari dunia luar dan orang-orang disekitarnya. Tiap sore tepatnya jam
17.00 ia selalu berada disini, di Pantai Parang Tritis. Satu-satunya tempat
yang ia jadikan sebagai pelarian dikala hatinya merasa kesepian. Berbeda dengan
hari-hari sebelumnya, kini gadis itu pergi ke pantai sendirian. Gadis dengan
badan yang semakin kurus itu nampak semakin menyedihkan dari hari ke hari. Ia
kini tak lagi memiliki semangat hidup. Impiannya telah pupus, orang tuanya
telah tiada, dan satu-satunya orang yang ia percaya pun kini telah ia usir dari
hidupnya.
Dengan perlahan gadis dengan gaun
putih itu terus berjalan menuju pantai. Ombak di pantai Parang Tritis saat itu
sangat tinggi. Deburannya yang terdengar keras tak membuat Aura gentar. Kaki
rampingnya terus berjalan tanpa henti, Aura hendak menenggelamkan diri. Ia
ingin mengakhiri hidupnya. Angin semakin kuat berhembus. Air laut telah
setinggi dada Aura, olalu dengan cepat mencapai lehernya. Sebelum ia
benar-benar tenggelam, ada sebuah tangan yang menariknya keluar lalu dengan
cepat menarik tubuhnya menuju pantai.
“Berani-beraninya! Kau fikir
dirimu siapa hah?” ucap Aura penuh amarah.
“(tertawa kecil) Apa mengakhiri
hidup sedang menjadi trend akhir-akhir ini? Kamu masih muda, cantik dan
terlihat seperti orang berada. Kurasa mati dengan cara menenggelamkan diri
tidak cocok untukmu. ‘Ditemukan jasad seorang perempuan di tepi pantai Parangtritis
dengan keadaan sulit untuk diidentifikasi karena jasadnya telah membusuk dan
bengkak’ sangat terdengar mengerikan dan tidak fancy bukan?” Ucap seseorang
yang telah menggagalkan rencana Aura untuk raib dan meninggalkan segala hal
dihidupnya.
“Tidak usah sok bijak. Lepas!
Jangan ikut campur urusan orang lain!” Kata Aura sembari menghentakkan
tangannya yang dipegang erat leh tangan yang terasa begitu dingin.
“Baiklah, silahkan saja kalau mau
bunuh diri dengan cara yang amat menyedihkan seperti ini. Kamu pasti mengira
bahwa setelah kematian ada kebahagiaan kan? Kukira kau adalah gadis yang
pintar, namun ternyata aku salah menilai orang dari penampilannya saja”
“………..” mendapat pernyataan yang
tak Aura sangka membuatnya diam mematung. Ucapan Wanita disebelahnya membuatnya
erpikir dua kali atas hal yang akan ia lakukan. Melihat Aura hanya diam, Wanita
itu pun melanjutkan ucapannya.
“Sebagai saran jika ingin mati
dengan cara menenggelamkan diri, buat secepat mungkin. Tunggu hingga ombak
berada dititik yang paling tinggi. Dan sembari menunggu air semakin pasang mari
dengar ceritaku dahulu. Sebelumnya perkenalkan aku Derana. Namamu siapa?”
“Aura” jawab Aura dingin.
“Auraaa
nama yang cantik. Oke Aura, aku akan mulai bercerita. Jadi….”
Bantul,
Juli 2000
Derana, gadis cantik itu adalah
seorang yang periang. Hingga suatu ketika, kejadian dipertengahan tahun 2015
merubah kepribadiannya. Ayahnya meninggal didepan mata Derana sendiri. Melihat
orang yang paling dekat denganmu, merenggang nyawa disampingmu tanpa kamu mampu
berbuat apa-apa rasanya sangat menyesakkan.
Apalagi jika kematian itu
disebabkan oleh keegoisanmu. Itu adalah kenyataan terpahit yang harus Derana
tanggung. Ayahnya meninggal karena rengekan Derana yang tak mau diantar
siapapun kesekolah jika bukan ayahnya. Bagi Derana, permintaannya saat itu
adalah wajar. Ayahnya sangat jarang berada dirumah karena masalah pekerjaan.
Maka dari itu setiap ayahnya pulang, Derana sangat manja dan harus ditemani
sang ayah dalam melakukan semua hal. Namun sayangnya hari itu ia tak mau
mengerti penolakan sang ayah.
Hari
itu meski ayahnya tak enak badan, Derana tetap memaksa dan merengek. Hingga
akhirnya ayahnya pun memutuskan untuk mengantarkan Derana. Namun ditengah
perjalanan, ayahnya kehilangan keseimbangan. Naasnya dari arah yang berlawanan
terdapat mobil yang melaju kencang. Derana dan ayahnyapun sama sama terjatuh. Bedanya Derana tak mengalami cedera
fatal seperti ayahnya. Ia ingat setelah insiden itu ayahnya tak bergerak,
kepalanya retak dan mengeluarkan darah yang mengucur deras. Dan sesampainya
berita bahwa ayahnya telah tutup usia, bukannya memikirkan bagaimana keadaan
psikis Derana. Orang-orang termasuk ibunya sendiri malah menyalahkannya atas
kejadian yang Derana sendiri pun harap tak akan pernah terjadi.
Jakarta,
November 2013
Kini Derana genap berusia 23
tahun. Setelah mendapat perlakuan yang menyakitkan dari orang-orang di
sekitarnya akibat insiden itu, setelah lulus SMA Derana memutuskan pergi
merantau ke Jakarta. Disini ia bertemu dengan pemuda yang sangat baik dan
perhatian. Namanya Kenes, ia pemuda yang sangat sopan dan tampan. Perawakannya
tinggi semampai. Ia memiliki garis hidung yang sangat tinggi, dan ia memiliki
senyum yang sangat manis. Usia Kenes terpaut 7 tahun diatas Derana.
Karena
disepanjang hidupnya hanya Kenes yang mampu membuat Derana bahagia kembali,
maka gadis itu sangatlah mencintai Kenes. Usia mereka yang terpaut cukup jauh
membuat Derana seperti merasakan kembali adanya sosok sang ayah. Begitupun
dengan Kenes, ia juga sangat menyayangi dan mencintai Derana. Baginya
kebahagiaan gadis itu adalah segalanya. Maka dari itulah karena cinta mereka
yang sama sama besar, tahun depan mereka memutuskan untuk menikah. Mengikat
cinta mereka dalam ikatan sakral yang tak memiliki batas waktu.
Jakarta,
Mei 2019
Tak terasa pernikahan akan digelar
dua minggu lagi. Maka dari itu sebelum diselenggarakannya ritual pingitan Kenes
dan Derana memutuskan untuk bertemu. Mereka berencana menghabiskan waktu berdua
di pinggiran Pantai Parangtritis, tempat yang sangat berarti bagi mereka karena
disinilah mereka bertemu untuk pertama kalinya.
“Dalam pernikahan kita harus jujur
satu sama lain kan?” ucap Kenes. Tangannya menggengam erat jemari gadisnya.
“Tentu saja kak” jawab Derana.
“Aku sebenarnya tak sebaik dan
sesempurna yang kamu fikirkan. Aku pernah berbuat dosa yang sangat besar dimasa
lalu Dera. Aku pernag secara tak sengaja merenggut nyawa seseorang. Aku tak
sengaja menabrak ayah dan anak perempuannya dengan mobilku” cerita Kenes dengan
air mata yang turun setetes dua tetes dipipinya yang tirus.
“……….” Mendengar cerita yang
begitu persis dengan yang Derana alami, membuat gadis itu diam terpaku.
“Kejadian itu terjadi saat aku
berusia 17 tahun Dera. Dimasa lalu aku memiliki tingkah laku yang buruk. Saat
itu meski telah dilarang aku nekat membawa mobil ayahku hanya agar terlihat
keren. Aku mengemudi dengan ugal-ugalan dan tanpa sengaja membuat nyawa seorang
ayah melayang. Aku ingat betul mata gadis itu yang menatapku dengan polos,
gadis itu tak menangis. Ia hanya menatap ayahnya dengan ekspresi tak percaya.
Aku berusaha memanggil ambulance, namun luka dikepala sangatlah fatal. Ayah
gadis kecil itu tak teretolong” lanjut Kenes. Cerita itu membuat Derana takut.
“Apaa mobil kak Kenes dulu adalah
mobil Isuzu Panther berwarna merah?” tanya Derana dengan air mata yang telah
menggenang. Kenes dibuat syok dengan pertanyaan Derana.
“Bagaimana kamu tahu? Dera? Jangan
bialng jika….”
“Jangan bilang jika apa? Jika aku
adalah gadis kecil itu? Gadis kecil yang menatap kak Kenes dengan pandangan
polos saat disampingnya ada sosok sang ayah yang sedang merenggang nyawa? Ah!
Bagaimana aku bisa begitu bodoh. Bagaimana bisa selama ini aku menatap kak
Kenes dengan penuh cinta jika ternyata mata itu adalah mata yang sama, mata
yang aku benci selama bertahun-tahun ini? Bagaimana aku bisa begitu lupa dengan
wajah pembunuh ayahku” ucap Derana dengan air mata yang mengalir deras. Sama
halnya dengan Kenes, meski tubuhnya mematung, matanya tak bisa berbohong. Ia
menatap Derana dengan tatapan yang menyiratkan rasa sakit yang sama besarnya.
“Bagaimana bisa…. Bagaimana bisa
aku menganggap kak Kenes sebagai pahlawan dan penolong dalam hidupku jika Kak
Kenes adalah salah satu dari orang yang memiliki peran besar dalam awal mulanya
penderitaan di hidup Derana? Bagaimana bisaa…” lanjut Derana dengan nada suara
yang semakin mengecil.
“Maaf Derana” ucap Kenes pelan
seraya memeluk kekasihnya. Namun pelukan itu langsung ditolak oleh Derana. Ia
kemudian berdiri dan semakin mendekati pantai yang saat itu memiliki ombak yang
sangat tinggi.
“Mari
kita akhiri. Disini kita bertemu maka disini pula kita akan berpisah. Kak Kenes
yang mengawali penderitaan dihidup Derana. Maka kak Kenes pula yang harus
menyaksikan akhir penderitaan Derana” Teriak Derana, sebelum akhirnya gadis itu
menyeburkan diri sepenuhnya diombak yang tinggi. Tubuhnya terseret jauh
kelautan dengan tangan Kenes yang berusaha untuk menggapai tubuhnya.
Parangtritis,
September 2023
“Jadi Kenes berhasil
menyelamatkanmu ya? Lantas bagaimana, apa kamu memaafkan orang yang ternyata
jahat itu?” tanya Aura.
“Jahat? Aku awalnya juga
berfikiran begitu Aura. Tapi, setelah melihatnya kemari setiap bulan Mei, aku
sadar ia sangat mencintaiku. Ia menyesali perbuatannya. Dan aku sadar kematian
seseorang sudah diatur. Saat seseorang meninggal entah apa penyebabnya, itu
adalah bagian dari takdir. Kita tak bisa menyalahkan orang lain atas rasa sedih
yang sebenarnya tak mampu kita tanggung sendirian” jawab Derana. Mendengar
ucapan Derana, membuat Aura teringat akan Albert. Diam-diam Aura membenarkan
perkataan Derana.
“Pulanglah Aura, bukan saatnya
kamu untuk mati hari ini. Masa depanmu masih panjang. Alih-alih mengakhiri
hidupmu, cobalah untuk lebih sabar dalam menjemput kebahagiaanmu” perintah
Derana lembut.
“Kapan aku bisa bertemu denganmu
lagi?”
“Bulan Mei tahun depan. Kembalilah
kesini. Cari laki-laki dengan bunga Hyacinth ungu ditangannya dan tanyakan
tentangku padanya” kata Derana. Mendengar itu Aura cukup bingung. Namun sebelum
bertanya lebih jauh dapat ia dengar suara Albert yang meneriakkan namanya penuh
dengan rasa khawatir.
Komentar
Posting Komentar