Dua Wajah Ibu
Dua Wajah Ibu
By: Athif Azmi
Perempuan tua itu
mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di
langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah
mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian
nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan
tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya
kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik
sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di
belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban
pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman
Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik
napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi
tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal.
Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan
tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar,
kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak
plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium
menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum
genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara
semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang
mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan
bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan
berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering
terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi
gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan
matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih
tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia
menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di
kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam
cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas
perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu
yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa
ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah
anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah
suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok
seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari
benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?”
lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan
yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu
kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke
sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua
gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota
itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal
memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia
balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah
gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah
janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti
radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela
napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa
pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar
kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir.
Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
Kota yang panas. Itulah kesan
pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung
Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan
berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap
itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu.
Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang,
seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat
dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk
sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah
berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak
Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang
berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret
Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras
beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan
cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di
kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember
plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar
biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya
menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak
Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa
senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau,
sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal.
Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di
rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap
ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya
ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat
memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal.
Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak
disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar
tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak
Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan,
dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang
tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku
gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah
banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal
sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak
Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas
dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak.
Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak
jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara
Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum
semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk
pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang
Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor
pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka
awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk
Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling
Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita
karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti
mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak
Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak
jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama
pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan
sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya
beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu.
Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut.
Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap.
Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak
Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu,
berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada
orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar
saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala
apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang
penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah,
mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
Tangan Mak Inang kembali
menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali
berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan
tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu,
menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa
dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang
dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan
gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi
mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak.
Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam
kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun
kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau
berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta
menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian
mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari
lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka
Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa
kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak,
menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota
merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam
besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan
dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir,
jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan
dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka
kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput,
mengkerut, dan carut-marut.
Komentar
Posting Komentar