Cerpen - Bingar Dedak


Bingar Dedak

(Oleh: Ayu Novita Sari)

Air menitik jatuh dari langit tangis. Menyerap mengalir melewati tubuh seekor cacing. Menitih akar-akar tunjang pohon ranggas, sampai pada sungai tapal kuda. Membaur asin dengan keringat ikan.

“Aku masih ingin hidup 100 abad lagi. Aku tak ingin mati.” Mangkus mencampur beberapa ramuan dari dedaunan. Seseorang mengintip iba suasana di luar jendela bambu yang dingin.

“Apa rencanamu?” Wongka angkat suara.

“Aku ingin mereka mati dengan mulut yang menggigit telinga mereka sendiri.”

“Sarap!”

Tidak ada yang berjalan di trotoar. Taman dan alun-alun kota menjadi tempat pembuangan organ tubuh manusia. Tidak satu pun yang menikmati es krim di pinggir jalan ataupun sekedar berbincang angin jalan. Semua yang tidak patuh atas perintah Gover pemilik negeri Dedak ini maka akan mati sia-sia dengan organ tubuh yang terpisah. Tidak ada yang bisa mengelak setiap penjuru negeri memiliki CCTV yang dijaga oleh monyet pemilik indra pencium yang tajam dan penglihatan super jeli yang mematikan. Jangan harap bisa terlepas dari pengawasan para monyet itu. Setiap rumah, kamar tidur, kamar mandi, dapur, bahkan hutan belantara yang memiliki banyak pepohonan ada CCTV di setiap batangnya. Tidak ada yang bisa bebas bernafas selagi Gover masih hidup kecuali seonggok gubuk lusuh hulu sungai.

Pernah saat ada badai lebat. Seorang petani tua meminta kepada Govar untuk menghentikan badai yang Ia buat karena Petani itu baru saja memulai menanam padi. Ia sampai bersujud untuk meminta.

“Aku akan menghentikan badai ini dengan syarat kau beri semua hasil tanam mu seratus persen dan kamu menjadi pembersih kuku ku seumur hidup.”

“Biadab!” Jawab Petani.

“Tinggi sekali bahasamu.”

“Aku memang orang kecil yang tidak memiliki kuasa sepertimu. Tapi, aku punya hati, harga diri, dan otak.”

Lalu Petani itu lari sekencang-kencangnya. Kaki tak beralas, baju oblong putih lusuh yang compang-camping, tangan yang mengepal, dan wajah keriput menua umur.

Ia menyusuri hutan rimbun. Mengelak prajurit Gover yang membawa senjata ada yang besar, ada yang kecil, bahkan tak terlihat bentuk dan ukurannya.

Petani itu tidak tahu jika di setiap seantero negeri Dedak terdapat CCTV selama ini ia mementingkan bagaimana caranya mengisi perut agar tidak melilit. Gover juga memiliki prajurit yang bisa menghilang dan datang kapan pun ia mau di tempat yang Ia inginkan, prajurit ini Ia beri nama Matri.

Panah beberapa kali menyabit di bagian tubuhnya. Kaki kirinya sudah mati rasa. Matanya rabun. Telinganya tuli. Pita suaranya putus.

“Akan datang pemudaku untuk memotong leher dan memanggang matamu.” Melihat salah satu CCTV. Gover terpaku mendengar ucapan Petani lewat layar monitornya. Gelap.

***

Bingar. Wongka, tetap memperhatikan keadaan negeri Dedak. Semua panca indranya terlahir tidak seperti rakyat negeri Dedak kebanyakan. Matanya sangat tajam hingga bisa menembus 100 gedung pencakar langit bahkan lebih. Indra penciumnya bisa mendengus sampai kerak bumi terdalam. Tetapi ia bodoh.

Mangkos masih meracik ramuannya. Ia mengira-ngira banyak sedikitnya larutan yang ia campurkan. Berbeda dengan Wogka, Mangkos memiliki kepintaran yang superior.

“Kamu sebenarnya bisa atau tidak?” Tikam Wongka.

“Kau diam saja, perhatikan saja keadaan luar!” Bentak Mangkos.

“Melihat negeri ini penuh darah  yang tak terlihat? Mendengar jeritan dan rintihan orang bawah? Merasakan sayatan di setiap lapis epidermis kulit?” Todong Wongka.. 

“Ayo kita lawan para kuman negeri ini.” Tegas Mangkos.

***

Menyusuri selokan penuh tikus yang gemetar, melewati pantai yang sudah di potong senjanya, hingga gunung yang tandus, sampai pada lorong panjang tanpa penerangan , di ujung sana singgasana Gover bertahta. Di sepanjang lorong, terdapat lukisan dari darah. Langkah pertama memasuki lorong suasana lukisan rakyat terlihat bahagia, semakin ke dalam lukisan air muka  mereka semakin turun. Mangkos dan Wongka saling bertatapan.

Pendar cahaya semakin terlihat warnanya senja kejinggan. Aneh. Cahaya itu yang semakin mendekat benar saja. Api.

“Mereka kira, mereka tidak terlihat.” Ucap Gover. Di lain kepala.

“Dia tidak tahu siapa lawannya sekarang.”

Mangkos menaburkan ramuan warna hitamnya. Seketika lorong terbongkar dan api menghilang.

“Siapa bocah itu?” Gover menaikkan nada tanyanya. Mulai khawatir,

“Wongka kamu siram ramuan warna merah ini ke seluruh tubuh Gover. Aku akan menarik semua para prajuritnya dengan membawa ramuan hijau ini.

“Ta ... ta ... tapi....”

“Aku percaya kepadamu.” Mangkos menarik perhatian seluruh prajurit, ia ingin membawa seluruh prajurit itu pada tempat yang sudah ia rencanakan.

Langit menjadi buruk. Angin yang bernafas mengitari seantero negeri enggan melewati dan perlahan berputar arah. Setitik air dari langit jatuh tepat pada kubah utama istana hingaa menghadirkan kesan licin pada ujung permatanya. Aroma anyir mulai tercium dari setiap tubuh yang akan bercampur dengan tanah. Mangkos terengah-engah dengan ujung kakinya yang sedikit robek. Sepertinya ia tidak sengaja menginjak cangkang bekicot yang sedang ditinggal oleh penghuninya. Ahh, aku tidak tahu betapa merasa sedih bekicot malang itu. 

Dilain tempat Wongka masih dalam masa jajah pemikirannya. Semoga dia mendapatkan hari keberuntungannya.

Wongka mengendap. Dan Gover menyadari lalu menyerang dengan segala senjata yang tak terlihat oleh rakyat biasa. Berbeda dengan Mangkos yang bisa melihat sesuatu yang tak berbentuk. Prajurit itu sudah terperangkap pada lingkaran bola lalu Mangkos menutupnya dengan ramuan hijaunya, membaca mantra dan semua prajurit mati seperti tersetrum. Hingga mulut mereka menggigit telinga mereka sendiri dan mematung.

Aku akan menyayikan lagu masa kecilku yang selalu terngiang di telingaku.

Ayunkan angin pada jemari kakimu yang bergelantung

Jangan biarkan dedaunan merampas angin siangmu

Bermainlah dengan senyum

Jangan biarkan semut mengambil manismu

Kamu adalah raja di hutan belantara

Kamu juga sang mimpi disetiap tidur manusia

Jangan merangkak jangan terduduk

Ayo berlari denganku, ada sebuah surga yang menunggu

Jangan pejamkan matamu 

Aku takut kamu tidak dapat membukanya

Aku sangat menyayangimu

Aku menangis mengingat itu.

Suasana semakin keruh, lengah sedikit Wongka akan terpenggal. Tidak ada urat yang tenang pada tubuh manusia waktu itu. Semuanya terhardik dengan posisi yang diperankan. Cacing tanah enggan keluar hari itu, tidak ada nyamuk hinggap dipantat sapi, semunya tiba-tiba menghilang.

Gover memperlemah pertahanan Wongka yang glagapan. Ramuan merah itu tetap ia genggam. Gover menyadari arti dari ramuan yang Wongka pegang. Lalu menyabet dengan petir dan ramuan itu terpental. Naasnya terpental dan tertangkap pada tangan Wongka, lalu dengan kelebihannya yang bisa menghilang ia taburkan ramuan itu pada lehernya lalu darah menutupi negeri Dedak. Bau anyir.

“Aku lapar, sate matanya sudah matang? Biar kukunyah dengan sambal hijau yang kau buat!”

Jember 2019

Rusuk remuk: Bumi Pandhalungan


Biodata Penulis

Lahir di bumi Blambangan membuatku memiliki senyum teduh seteduh desa kelahiranku Kalibarumanis. Banyuwangi yang semerbak baunya menebar harum pada namaku. Ayu Novita Sari. Terlahir dalam keluarga sederhana yang banyak mengajarkan arti hidup tidak membuat kesal dan sesal. Ini adalah bentuk syukur. 05 Mei 2001, tanggal manis semanis namaku. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama aku habiskan di kota paling timur Pulau Jawa ini. Masa SMA aku habiskan di kota sebrang, kota Pandhalungan. Jember. Saat ini menempuh kenyamanan di Universitas Jember, Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia. Menulis adalah darah yang mendaging dan karya adalah tenaga. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Drama Dayang Sumbi

Antologi Puisi : "Rest Area"

Rahasia sebuah Kata