Cerpen - Ditikungan Jalan
Di Tikungan Jalan
( Oleh: Milatul Maftah)
“Terima kasih, Mas.”
Ucap Bapak kepada Om sardi yang baru saja selesai memakai jasaku. Ia mengantarku kepada bapak yang sudah menunggu entah sejak kapan di tempat biasa, tikungan jalan di ujung kampungku, tempat yang memang telah kita janjikan. Setelah menyerahkan beberapa lembar uang bergambar Bung Karno dan Bung Hatta itu ke tangan bapak, aku segera naik ke sepeda. Bapak mengayuhnya sejurus kemudian.
“Pak, aku capek, deh.” aku berkata lirih pada bapak.
“Iya, sebentar lagi kita mampir ke rumah mbah Empluk. Bukankah memang sudah waktunya kamu diurut? Agar tidak kaku otot-ototmu.” sahut Bapak sembari terus menggenjot sepeda.
“Maksudku, aku pingin berhenti kerja. Aku pingin nikah saja.”
Bapak melambatkan laju sepedanya..
“Aku melacur sejak umur 14 tahun, Pak. Sekarang aku 21, sampai kapan Bapak akan terus makan dari uang hasil rintihanku dengan om-om yang bahkan seumuran Bapak?”
Bapak tak merespon pertanyaanku. Aku menatap lampu-lampu jalan yang makin hari makin meredup.
“Lihat jalan-jalan ini, lihatlah orang-orang di sekitar. Mereka semua mengutuk kita. Mengatakan Bapak menjual selangkangan anaknya hanya demi segelas kopi. Mengatai kita tak paham agama, mengatai aku mahluk hina. Aku mau hidup normal, Pak. aku tidak ingin menua menjadi seorang pelacur.”
Seperti ada sesuatu hangat yang hendak keluar dari mataku.
Bapak tak menjawab, jalanan perlahan lengang, hanya beberapa kendaraan yang mendekat lalu menjauh dengan cepat. Hening meruang.
“Zaman sekarang, siapa yang tidak menjadi pelacur? Hampir semuanya melacur!”
Ucap Bapak tiba-tiba. Entah dengan mimik wajah seperti apa, ia mengatakan hal itu.
“Betapa banyak orang menjual dirinya demi kepentingan perut? Berapa banyak para politisi menjual kepandaian berbicaranya untuk kepentingan kursi? Berapa banyak pemuka agama menjual khotbahnya demi keamanan kelompoknya dan berlindung di ketiak penguasa?”
Bapak melanjutkan.
“Kamu mau berhenti melacur itu hakmu. Silakan menikah, menikahlah dengan orang yang ketika kamu menjadi istrinya, kamu juga tidak dijadikan seorang pelacur atau bahkan seorang budak.”
“Maksud, Bapak?”
“Menikahlah jika kamu telah menemukan orang yang benar-benar mencintaimu tanpa peduli siapa kamu sebelumnya. Orang yang tak hanya menjadikanmu sebagai objek seksualnya saja.”
Bapak menjeda.
“Lihatlah perempuan-perempuan seusiamu yang tinggal di dekat rumah kita. Secara tidak sadar mereka diperbudak oleh suami-suami mereka. Setiap hari diperintahkan untuk melayani suami-suaminya, mulai dari urusan perut sampai urusan tempat tidur. Lalu apa yang perempuan-perempuan itu dapat? Memar di sekujur tubuh bila apa yang dilakukannya tak sesuai dengan keinginan suaminya. Padahal uang belanja yang setiap hari diberikan kepada mereka itu tidak akan pernah sebanding dengan upaya mereka memuaskan kebutuhan suami-suaminya. Betapa mengerikan jika kelak kamu memiliki seorang suami yang hanya ingin dipuaskan hasratnya namun enggan memuaskan hasrat istrinya”
“Itu namanya kewajiban, Pak! Bapak tidak usah menakut-nakuti aku dengan bualan semacam itu.”
“Hahaha.. kewajiban. Kewajiban apa? orang-orang sekarang kebanyakan lupa terhadap kewajibannya, yang diingat hanya apa yang berhak dia dapatkan saja.”
“Aku akan mencari suami yang tidak akan memperlakukan aku dengan cara seperti itu. Kalau aku berubah pasti aku dapat suami yang setia dan menyayangiku.” sahutku cepat.
Aku tidak habis pikir mengapa Bapak mempunyai pemikiran seperti itu. Padahal dia laki-laki. apakah dia juga seperti itu?
“Persetan dengan kesetiaan. Orang-orang bersetia hanya sepanjang kepentingannya terpenuhi saja, Nak.”
Angin malam semakin membikin ngilu, menusuk kulitku. Seperti omongan Bapak, menusuk ke dalam dadaku.
“Bapak memang tidak sayang aku. Seharusnya aku disekolahkan. Aku disuruh pergi ke surau. Aku dibekali dengan pengetahuan Agama agar tidak seperti ini. Setiap hari dihina, tidak ada yang mau mendekatiku. Aku terlalu hina. Aku seperti ini gara-gara Bapak. Aku melacur untuk menghidupi Bapak. Aku melacur karena kemiskinan kita!”
Bapak menarik rem, menghentikan laju sepeda. Ia membalikkan badan, lalu memandangku.
“Jika kita dalah orang yang hina dan kotor, mengapa mereka yang suci itu tidak mendekati kita, membantu kita menyucikan diri? Seperti itukah gambaran orang-orang suci? Hanya ingin suci sendiri?”
Wajah tua dan keriput itu memandangiku dengan penuh kelembutan.
“Kalaulah aku ini tidak menyayangimu, tidak akan kupungut kamu. Ketika pelacur itu membuangmu di pinggir rel kereta.”
“Hah?” aku tercekat.
Apakah aku bukan anak kandung Bapak? Lalau aku ini siapa?
“Kamu bukan anakku. Aku tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Aku hanya punya niat untuk mengurusmu dengan ikhlas. Aku tidak menyekolahkanmu, tidak menyuruhmu mengaji, karena aku tidak punya uang untuk membiayai itu. Jangankan untuk sekolah atau membelikanmu mukenah, bahkan untuk memberimu makanpun, dulu aku harus mengamen seharian. Aku berpikir, orang-orang kaya dan yang katanya ‘Alim di sekitar kita ini banyak, tapi apa mereka pernah menawarimu untuk sekolah atau hanya sekedar mengaji di surau? Pernah? Tidak bukan. Ya, mungkin karena mereka tahu bahwa kamu hanya anak yang dipungut oleh seorang lelaki sebatang kara yang tak mengimani apapun sepertiku”
“Tapi bapak selalu membelikanku baju baru ketika hari raya tiba dan tidak mengizinkan aku melacur di bulan puasa”
“Kamu musti tahu kapan harus bergerak. Kapan harus diam ditempat, Rum..” tatapannya penuh penderitaan.
“Bukankah aku tak pernah menyuruhmu menjadi pelacur? Aku tidak pernah menjualmu, kan? Kau yang mengadaikan nasibmu pada penderitaan, Arum.”
Bapak benar. Ia tak pernah memintaku untuk melacur. Aku yang menjerumuskan diriku. Selama ini dia mengantarku hanya untuk memastikan aku pergi dengan siapa. Dia tidak melarangku, barangkali karena merasa tak berhak atas hidupku. Hidupku adalah pilihanku. Dan aku yang telah memilih jalan ini. Kini aku lelah dengan semuanya. Aku menyadari. Hidup tak menawarkan apapun selain kematian.
“Kalau kamu ingin berhenti, aku senang. Kamu ingin menikah aku senang. Tapi pastikan carilah yang menerima seluruh kurangmu. Sekarang tabunganmu mungkin sudah cukup. Pergilah! Pergilah ke tempat di mana kamu diterima tanpa memandang siapa dan dari mana kamu berasal. Uang hasil melacurmu aku simpan. Aku tidak tahu untuk apa, tapi aku tak pernah memakainya untuk diriku. Bawalah jika kamu ingin. Tobatlah jika kamu merasa sudah waktunya. Pergilah ke surau jika kamu ingin mengaji. Tapi tidak di sini. Carilah tempat yang jauh dan pastikan kamu jangan pernah kembali ke tempat ini lagi.”
***
Aku memutuskan untuk pergi. Meninggalkan Bapak, meninggalkan kisah burukku. Aku tidak tahu apakah Tuhan akan mengampuniku atau tidak. Namun aku yakin, yakin sekali bahwa Tuhan tidak seperti manusia yang penuh dendam.
Aku akan selalu mengingat kata-kata Bapak bahwa “Hidup ini seperti tikungan jalan, kamu tidak tahu apa yang ada di balik tikungan. Maka dari itu selalu berhati-hatilah, gunakan remmu sebaik mungkin”.
Ya. Aku akan mengingatnya.
Komentar
Posting Komentar