Cerpen Motibasi

 


MOTIBASI

(Oleh: Idzanami19)

Pernahkah orang gila berpikir akan menjadi gila?

Kurasa jawabannya tidak. Memangnya siapa orang di dunia ini yang ingin menjadi gila? Tidak ada, kan? Setidaknya, itu adalah info terakhir yang kutahu dari video-video di YouTube. Dari sana aku menemukan banyak video motivasi agar kita tetap berada dalam jalur “waras”, meski pada akhirnya tidak semua bisa menjadi waras hanya dengan menonton itu.

“Ceritakan masalahmu pada beberapa orang atau cukup satu saja yang paling kamu percayai.”

Aku tersenyum. Indah sekali kata-kata motivator YouTube itu. Tapi percuma, rasanya itu tidak akan mempan. Aku bahkan tidak bisa memikirkan satu orangpun untuk kuajak bicara. Teman? Aku punya banyak teman. Sungguh. Aku tidak sepenyendiri itu hingga tidak mempunyai suatu golongan atau komunitas tertentu. Aku punya banyak teman, kok. Iya, kan?

“Kamu tidak sendirian.”

Senyumku semakin lebar, juga semakin miring. Jika orang dalam YouTube itu tahu kalau saat ini, di detik ini, tidak ada siapapun yang duduk atau tidur di sebelahku. Apa dia masih bisa bicara seperti itu? Tapi, kalau yang dia maksud dengan tidak sendirian itu ialah masih ada tetangga kamar yang hidup di sebelah kamarku, mungkin aku akan menyetujuinya. Baiklah, aku setuju.

“Jangan hanya berdiam diri di dalam kamar, coba pergi keluar dan cari udara segar.” 

Baiklah, kali ini aku akan benar-benar tertawa. Bagaimana mungkin aku bisa pergi mencari udara segar jika udara itu sendiri sudah menjadi alergi yang selalu membuat sesak napas? Tapi, bagaimana kalau pergi ke kamar mandi saja? Kudengar jika kau duduk di sana dalam posisi seperti ketika BAB, kau akan mendapatkan banyak –banyak sekali ide dan pemikiran baru yang mungkin bisa memperjelas pemikiran lamamu. Meski mungkin pada akhirnya aku hanya akan berkhayal punya rumah tiga tingkat dengan taman dan kebun yang lengkap, itu tidak masalah. Bicara tentang BAB, sepertinya aku harus men-skip videonya terlebih dulu karena harus segera ke kamar mandi. Mohon maaf, aku bukan tipe orang yang suka membawa ponsel ke toilet – kecuali jika sedang ada di toilet umum.

Aku kembali merebahkan diri ke kasurku yang mulai tidak empuk setelah hampir dua tahun digunakan. Aku beri tahu padamu, kasurku sangat protektif. Aku harus membujuknya sedemikian rupa hanya untuk membiarkanku bangun pagi. Mengesalkan, tapi terkadang dia berguna ketika aku ingin tidur dalam waktu lama.

“Cobalah fokus dengan hobi atau sesuatu yang kamu sukai.”

Kata-kata motivator itu kembali terdengar setelah tombol play kupencet. Aku hampir tersedak. Bukan karena kata-katanya yang menurutku benar-benar saja, tetapi lebih karena bau selimutku yang harus segera dicuci. Baiklah, setelah ini aku akan kembali fokus dengan video itu.

“Menangislah jika ingin menangis, tapi setelah itu harus segera bangkit.”

Tunggu. Apa maksudnya? Baiklah, aku akan menangis karena aku memang sangat ingin melakukannya. Tapi bagaimana dengan kelanjutannya? Bagaimana caranya aku bisa bangkit jika sudah tidak ada apapun yang ingin kulakukan? Bagaimana caranya aku bangkit setelah menangis? Beri tahu aku bagaimana caranya?!

“Semangat!”

Ha? Hanya itu? Selesai? Hanya sampai itu saja?

Aku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin itu bisa disebut video motivasi? Aku benar-benar tertawa hingga air mataku meleleh dengan sendirinya. Aku terus tertawa sambil menangis. Aku tidak tahu bagaimana cara penyebutan dua kegiatan emosi ini jika dilakukan secara bersamaan. Tapi, itulah yang terjadi, kawan-kawan. Aku tertawa dan menangis secara bersamaan. 

Aku terus melakukannya selama beberapa menit hingga mataku menangkap sebuah gunting di ujung meja. Tiba-tiba tawaku berhenti dan berganti tangisan yang semakin keras. Aku merasa seperti orang gila. Hahaha, aku gila. Sepertinya aku benar-benar gila. Aku memegangi pergelangan tanganku yang tiba-tiba terasa sangat panas meski belum kutancapkan apapun di sana. Aku menjerit, meraung, dan menangis. Motivator bangsat! Bukan seperti ini output yang kuinginkan setelah mendengar videomu di YouTube.

Aku beranjak keluar dari kamar, lalu berjalan tergesa ke kamar mandi. Kuhidupkan shower. Aku biarkan airnya membasahi tubuhku – lebih tepatnya otak dan pergelangan tanganku yang kian memanas. Sekian menit aku berdiam diri di sana sambil berusaha mengosongkan kepalaku yang penuh dengan lolongan sampah. Aku diam dan terus diam sampai tubuhku terasa menggigil. Pada akhirnya aku menyerah dengan air. Kumatikan shower-nya, lalu beranjak keluar dari kamar mandi sambil menggigil. 

“Kamu baik-baik saja?”

Aku kembali menangis. Tetangga, terima kasih sudah menanyakan itu.

~END~


Jember, 22 Agustus 2020

Workshop Kepenulisan Cerpen (Daring) PeKa


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Drama Dayang Sumbi

Antologi Puisi : "Rest Area"

Rahasia sebuah Kata