Antologi Puisi : "Rest Area"
ANTOLOGI PUISI
"REST AREA"
Rest Area menawarkan perjalanan emosional pada
berbagai keadaan hidup, di mana cinta dan romantisme menjadi pelipur lara
dalam tulisan. Dalam antologi ini, Rest
Area menjadi tempat peristirahatan di sepanjang jalan dan menjadi momen
persinggahan pembaca yang diajak berhenti sejenak menikmati, merasakan, dan
merenungi setiap getaran dalam bentuk tulisan.
Senandika Wayodya
Oleh: Otaa
Terlalu manis, tapi juga terlalu menyedihkan
Dalam diam, kutatap sosok gadis kecil itu, yang tampak sangat berantakan
Kamu, bukan satu-satunya yang merasakan kesendirian
Keterpurukan, kekecewaan, dan berakhir dengan menyedihkan
Mata gadis itu memerah, berkaca-kaca
Dan berpotensi besar mengeluarkan air mata
Sorot matanya penuh luka gulana
Ekspresinya menunjukkan luka sendu sembilu
Terdiam, ia berusaha menguatkan hati
Tolong, jangan lagi merusak diri
Jangan lagi-lagi menyalahkan hati dengan bertubi-tubi
Kamu harus mengerti, tidak semua yang kamu inginkan akan diamini
Kamu harus kuat berdiri, berpijak dengan kaki sendiri
Perlahan, kuusap kristal benih yang berjatuhan di pipi
Kucoba menarik senyum tinggi-tinggi
Sekali lagi, aku tatap lekat pantulan gadis di kaca persegi
Kusadari, memang tak mudah berdamai dengan diri sendiri
Maka kuyakinkan sekali lagi pada diri, jika aku berarti
Aku, harus bisa mencintai diri sendiri
Meski tak sempurna, aku berharga
Meski penuh dengan luka, aku cantik apa adanya
Meski mungkin saja aku bodoh, idiot, dan keras kepala
Aku adalah aku
Aku, sabitah utama di kehidupanku, dan akan selalu begitu
01.45 a.m
Dariku, untuk Diriku
Romantisme bukan hanya tentang perasaan terhadap pasangan, bukan?
Perasaan itu memiliki makna yang sangat luas
Maka dari itu, puisi pertama, perasaan pertama
Kutujukan untuk diriku sendiri
Rest Area
Oleh: Anon
“Bajingan mana yang membuat rumahnya tampak seperti Rest Area?”
Pergi
Datang
Rehat
Makan
-minum
pipis
berak.
“Itu rumah atau Rest Area?”
Ajari Saya Merayu
Oleh: Lea
Hai, Nona, bagaimana kabar Nona saat ini?
Tidakkah Nona lelah berjalan tanpa tujuan?
Apa kepala Nona tidak letih tanpa sandaran?
Nona, saya masih di sini, tetap memandang dari kejauhan
Saya selalu bertanya, Nona
Kapan … kapan saya bisa melihat senyum Nona sepuasnya saya lagi
Saya terkadang iri kepada cermin yang Nona ajak bicara setiap hari
Demi Tuhan, rindu ini menyiksa saya, Nona
Terkadang saya bingung, bagaimana agar Nona menyadari keberadaan saya
Apa saya harus menjadi hujan agar Nona tahu ketulusan hati saya
Atau saya harus semisterius lautan agar Nona tertarik kepada saya
Nona tinggal bilang saja, saya akan menjadi yang Nona butuhkan
Perlu Nona ketahui, tidak ada penyesalan bagi saya untuk mencintai Nona
Saya tetap sennag karena di antara bumi yang seluas ini, saya menemukan Nona
Meskipun saya pernah mengira Nona adalah orang yang tepat
Tapi mengira saja sudah membuat saya bahagia
Ibu, Aku Hanya Lelah
Oleh: Wewen
Akhirnya ….
Aku baru saja menangis
Mennagis di pelukanmu
Pelukan ibuku
Kemudian beliau bertanya
“Lantas aku harus apa? Aku harus bagaimana?”
Tidak perlu apa-apa, Ibu,
Aku tidak akan menyuruhmu untuk apa pun
Semua yang kau lakukan
Semua yang kau berikan
Harusnya aku syukuri hingga detik ini
Lalu beliau bertanya lagi
Apa masalahku?
Apa ada yang salah dengannya?
Tentu saja aku jawab tidak ada
Aku tidak menangisi apa pun, Ibu. Aku hanya ‘lelah’
Wewen, di Balung, beruntungnya aku bisa dipeluk ibu
Kisah Cintaku dan Senja
Oleh: Otaa
Wahai semburat jingga
Ini aku pengagum diorama senja
Aku mengagumi spektrum oranye di atas sana
Senja, bolehkah aku menceritakan suatu kisah?
Atau melontarkan beberapa tanya?
Akh, kenapa aku menjadi pelupa akhir-akhir ini?
Kau hanya hadir sebagai tempat berkeluh kesah
Tempat menggantungkan asa, bukan tempat bertanya
Maka, biarkan aku berkisah, Senja ….
Aku mencintai seseorang yang sifatnya sama sepertimu
Dia ….
Yang hanya ingin dipandang namun enggan dimiliki
Yang mudah hilang dan mudah pergi
Betapa beruntungnya engkau dan dia, Senja
Engkau punya Bumi yang setia menantimu
Dan mungkin dia punya aku
Aku yang selalu menuliskan puisi tentangnya
Aku yang selalu memujanya lewat kata-kata
Karena sebenarnya aku telah lama sadar
Sama sepertimu, Senja ….
Engkau dan dia hanya bisa abadi
Dalam rapuhnya diksiku
Penghujung
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
di balik cakrawala yang meredup perlahan
ada kisah yang berbisik dalam ruang kalbu
tentang kita yang pernah bersama
mengarungi jalan menciptakan jejak kenangan
ingatanku masih berlabuh padamu
pada setiap letak yang pernah kita telusuri
jalan itu, tempat itu, terus menggores memori
cukup terlukis dalam benakku
bagaiman tidak, Tuan?
kata itu, kau berlabuh di saat yang tepat
saat sepi menyergap relung hati
lalu kau datang, bagai malaikat tak bersayap
waktu membawa kita ke penghujung pelabuhan
hembusan angin pertanda babak baru dimulai
terima kasih, Tuan
kisa sesaat, namun berkarat
Situbondo, 15 Juli 2022
Akara Tahun Kelima
Oleh: Naaltf_
Menginjak pancawarsa
Kalimat pujian melekat dalam atmanya
Sauh kapal tua kembali berlabuh
Masih dengan identik yang sama, 5 tahun lalu
Rambut ikal dengan outer kemeja hitam
Berkalung tustel di leher tegaknya
Jeremba nabastala dan tenggara
Lontaran kalimat patah arang hanya bualan
Senyum siput kembali menyapa
Memporakporandakan memori lama
Lagi, lagi, dan lagi kembali luluh
Akara sukar sirna dari peredaran netra
Bungkam, haus sapa
Fakultas Ilmu Budaya, 2023
Tiga Kata
Oleh: Triandika Kirani
Katanya, keramaian adalah permainan
bagi manusia yang menari di pasir kehidupan
berputar, memutar tawa hingga duka
mengukir rasa dengan ranting pepohonan
atau mengerat senja dalam kerang
Kataku, keramaian adalah kesepian
saat kata tak lagi bersuara
jejak yang mulai hilang
dan laut yang menggelapkan
Tapi katamu,
“keramaian adalah keduanya”
saling berpasangan dalam genggam
ketika sepi yang ingin terus bermain
dalam bayang-bayang kerinduan
Perihal Rasa dan Rindu
Oleh: Otaa
Hai Tuan Pengubah Rindu
Ini aku puanmu yang setia menunggumu
Namun, mengapa Tuan masih juga bisu?
Apa memang Tuan tak mau tahu?
Aku sungguh telah siap menjadi bagian dari dirimu
Dalam pengakuanmu dan dalam hangatnya dekapmu
Kenapa Tuan seolah masih ragu?
Kepadaku, kepada anganku, dan pada kesetianku
Tuan, tak tahukah bahwa kepergianmu membawa pilu?
Menggelamkanku perlahan pada fatamorgona abu-abu
Tolong, jangan biarkan aku larut dalam permainan diksiku
Jangan biarkan ilusiku bebas menjadi candu
Tuan, aku mencintaimu
Puanmu ini sangat mencintaimu
Tak cukuplah kata cinta saja untuk mengikatmu?
Tak cukupkah perasaanku padamu menjadikanmu mulikku?
Aku telah tersesat dalam samudra birumu
Terlalu banyak tanyaku yang tak sampai pada pendengaranmu
Kata rinduku berakhir semu
Karena untuk kesekian kalinya, yang mendengar hanya telingaku
Tidak dengan telingamu
Kapan Aku Ikhlas?
Oleh: naaltf
Ketakutan itu masih menggerogoti tubuhku, Pak.
Mulut bungkam bertemu orang sekitar
Bukan malu,
pertanyaan tragis itu kembali terlontar
Merekam ulang adegan besi berdarah
Gadis lunglai belum bisa menerima
Nasib patah dengan efek berkelanjutan
Astamu mulia di sana
tapi maaf,
Kalimat ikhlas belum tercipta setulusnya
Merenggut bulan sabut dan dunia dalam semenit
Dekap Temaram
Oleh: Naaltf_
Hilang binar sisa temaram
Guratan sabit turut sirna
Cakrawala tak tunjuk keelokannya
Cerih ruang kosong pendar cahaya
Kenya meringkuk dalam selimut
Reminisensi kelam kembali terputar
Pudarkan rasa percaya dan meniadakan empati
Memporak-porandakan pikiran tak karuan
Laiknya tak bertuhan
Sumpah serapah tak henti terucap
Seraya merutuki diri ‘bodoh’
Ambang pintu terbuka perlahan
Berdiri kokoh bayang pria jakung
Menatap nanar gadis lunglai
Mematung sepersekian detik
Derap langkah perlahan mendekat
Menyibak selimut yang menyelimuti kenya
Mendekap hangat gadis kecil lunglai
Tangis pun pecah dalam dekapan
Berteman sunyi bersama temaram
Dari si Kecil
Oleh: Adi Saputra
Dari malam lalu, lagu rehat kota kami hanyalah ledak
Maka kelam semakin pekat, sekalipun bulan membelalak
Dentum lampias beradu merebahkan bangunan yang meretak
Abah turut runtuh, kerontangnya retak di antara puing tak berjarak
: dari di kecil yang ratap pandangnya sedang berserak
Separuh hidung kami terus menghidu apa-apa yang hangit
Satu renjis api telah menyasau mereka yang hendak bangkit
Lalu kelabu dengan ringkas merampas napas kaum yang alit
Ibu sudah berkafan, dengan jenazah lain yang bersengkelit
: dari si kecil yang menjeda tangisnya pada langit
Konfrontasi ini terlampau bengis
Sebab mereka belum juga berjumpa budi
Kami telah berkawan dengan bulan dan matahari
Memungut doa agar masa sengsara takkan abadi
Kami terlelap dan sujud bersamaan sepanjang hari
Tapi damai belum sepenuhnya menaruh sudi
Kami khatam mereguk tandas air mata sedari dini,
Akankah masa kecil kami rampung di peperangan?
: dari si kecil yang bersujud tanpa denyut nadi
Bumi Blambangan, 21 Januari 2024
Rimba Rindu
Oleh: Nurul Lina Firdaus
Rasanya luka itu timbul kembali
Jejakmu bahkan masih sama
Sembilu ini akhirnya membawa pada pekatnya musim
Jangan kau tanyakan pasal masa gugur belakangan ini
Periode yang selalu terbesit terusun rapi seperti
Menghujamku
Sesi yang selalu kuhindari
Sekarang benar-benar menerjangku
Senapan hamburan rindu itu memelukku
Remang-remang kurasakan
Musim semburat pipi telah gugur bersama perpisahan
Dan akhirnya aku tak dijadikan kalam yang menemimu
Susunan kalam sudah berhenti sampai di sini
Damai Perangai
Oleh: Adit
meski jarak kita seluas samudera, aku akan tetap mencintaimu. Seperti langit dengan gemuruhnya, akan kubiarkan diriku luruh, diterkam rintik-rintik, asal sedihmu terasuh.
seperti laut beserta gelombangnya, akan kubiarkan diriku hanyut dan tenggelam, asal tangismu redam.
layaknya awan mendung yang meluruhkan titik-titik air lalu sedikit demi sedikit menyentuh permukaan kulitmu, adalah upayaku untuk mendekapmu di kala takutmu mulai merekah.
tatkala badai datang menerpa, tak akan kubiarkan kau sendirian merawat luka, sebab pelukku akan selalu menyambutmu penuh suka.
aku akan tetap mencintaimu, sekalipun sedihmu meledak-ledak tak kenal waktu. Bilamana kepalamu mulai ramai, akan kujadikan detakku menjadi tempat paling damai. Kau bisa temui aku kapan saja, menetaplah selama apa pun yang engkau mau. Kupastikan semuanya akan baik-baik saja hingga kau kembali berkilau.
barangkali aku hanya bisa memberi cinta, selagi tersisa, ambil saja seluruhnya. Tak perlu khawatir kau akan terluka.
sehabis daya dan sepanjang masa, aku akan tetap mencintaimu, meskipun cinta adalah taruhannya. Meskipun cinta ialah apa yang aku miliki satu-satunya.
Pemanis Penderitaan
Oleh: Elza Salsabilla
Hanya kamu yang tahu pedih-perihnya masa suram
Hanya kamu yang mengerti kerasnya kehidupan
Hanya kamu yang paham saat air mata ditumpahkan
Nyala lampu yang kau kira bulan
Kerlip cahaya yang kau kira bintang
Nyatanya hanya pemanis penderitaan
Kita hanya membicarakan kefanaan
Yang menancap di jiwa yang terkekang
Penuh tuntutan
Riuh tekanan
Kenyang makian
Kita hanya membicarakan kefanaan
Yang merenggut senyum di bibir kita
Yang hilangkan cinta dari tempatnya
Dan menghapus masa yang membuat kita bahagia
Kala Hujan Membasahi Kulitku
Oleh: Hisyam
Dinginnya air hujan merangsang kulit lembutku
Tatkala mataku menatap abu-abu
Goyangan daun yang selalu menenangkanku
Tak seperti pil adiktif yang mereka makan itu
Petir menyambar
Awan menghitam
Daun kering berguguran
Inikah caramu mengingatkan?
Malang, 4 Juli 2024
Hisyam Azmi
Ketuk dan Peluk
Oleh: Elza Salsabilla
Aku tak tahu parasmu, juga asalmu
Tapi, waktu tahu kapan kita akan bertemu
Mungkin ini rindu, bisa juga jemu
Menantikanmu dengan semua anganku
Segala doa dan usaha, kurakit menjadi temu
Agar takdir kita bersatu
Entah cinta apa yang akan kupeluk
Takdir mana yang akan kuketuk
Hingga raga ini remuk
Rasanya Jadi Suapan Terakhir
Oleh: Anon
Seperti daging rendang
Yang selalu aku pinggirkan
Ketika makan nasi padang
Saat giliranku, akhirnya kau makan
Suapan
Rindu bersama Peluk Senja
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
Warna langit merah jambu yang memikat
Bagai lukisan indah yang membentang
Senja itu mulai melambai, rindu ini pun turut datang
Mengenang kisah bersama yang pernah ada
Angin senja itu membisikkan namamu
Rindu, lagu yang pernah kita putar kala itu
Pelukan senja, mendekap mesra hati yang tak lagi berpenghuni
Menyatu dalam keheningan mengingat sebuah kenangan
Oh, pelukan senja
Rindu ini menari dalam bayang kenangan asmara
Mengalun seperti melodi
Menjadi senja yang merayu dalam dekap kenangan yang abadi
Kring!!
Oleh: Wewen
Entah mengapa tangis kita terdengar malam ini. Lewat telepon, lembut sekali, pelan bahkan yang terdengar hampir hanya hembusan napas yang sulit dicari. Aku menyayangimu, ucap kami berseru dengan yakin. Kalimat itu kian terjeda lama, kini kami saling memanggil nama. Mencari jawaban. Sayang, sudah siapkah?
Wewen, di Balung waktu itu
Layar Cinta dalam Hamparan Biru
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
Di hamparan langit biru yang cerah
Pertemanan yang tak akan lagi sama
Hadir dewi cinta yang menyapa
Mengajak berlayar di lautan rasa
Mengalir dalam sapuan kasih
Tangan yang saling menggenggam
Menemukan detik kebersamaan
Mengukit ulasan status yang berubah
Layaknya lukisan di lautan rasa
Membentang senyum kebahagiaan
Indahnya cinta yang mulai terjalin
Bersama langit dan genggaman rasa yang kuat
Alunan Nada Jalan
Oleh: Triandika Kirani
Bising kendaraan berpolusi kata di jalanan
Sumpah serapah dalam alunan bambu dan
Receh robekan berharga yang terlempar pada tabung
Seluruhnya demi menghidupi keroncong malam-malam purnama
Rupa tersihir angan kehidupan
Merindu kasih, merindu pelukan
Teras-teras kota bersaksi setiap perjalanan
Melahap jiwa dalam gelapnya dingin peraduan
Duka memang, bagi mata yang berbeda sudut pandang
Namun, tak ada tangis yang tersulut dalam ketidakmampuan
Menyanyi, bersuka ria dengan pengharapan
Menoda canda semesta
Mengecup kebebasan
Potret Gadis
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
Dalam ruang potret wajah
Terhampar cerita tentang gadis
Dalam sorot mata memantulkan jiwa
Ada senyum dan tangis yang menghiasi
Gadis pilu dan ceria adalah satu
Menyimpan cinta dalam diri
Memilih langkah penuh ragu
Tetap mengukir jejak penuh kenangan
Romansa cinta dalam diri
Menjadi satu tak pernah berakhir
Purnama jiwa yang membara
Merajut asa penuh lelah
Menciptakan kekuatan diri
Mencintai diri
Melindungi diri
Mengukir kisah jiwa tanpa henti
Ingus yang Datang Sendiri
Oleh: Anon
Anak kecil perempuan itu paling gampang menangis di antara teman-temannya. Disuruh makan cepat nangis, disuruh belajar nangis, dan mungkin, jika temannya mendapat peringkat terakhir di kelas, ia yang akan menangis untuk temannya.
Alasan ia menangis pun tidak dapat ditebak. Mungkin jika itu cukup mengenai hatinya, ia akan menangis. Ah, tapi saat ia terberak-berak waktu SD, bukannya ke kaamr mandi, dia malah menangis sambil berdiri. Alhasil kena omel mamanya di jalan pulang, sepaket dengan aromanya, hmm.
Saat dewasa ini, ia bingung. Hal-hal yang tidak pernah ia rasakan ternyata bisa membuatnya menangis. Bahkan tanpa ada sesuatu pun, ingus itu datang sendiri tanpa dinanti.
Asmara
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
Gelap malam menghiasi
Bintang malam ikut berseri
Rembulan malam menyinari hati
Pelukan itu ikut mengiringi
Detik kasih merajut rasa
Senyum manis terukir
Genggaman tangan mengerat
Irama asmara yang mengalun
Malam indah kala itu
Dengan melodi merdu
Menghiasi cerita cinta baru
Menyentuh hati
Merangkul dua insan yang berbunga
Kediaman Rapunfell
Oleh: Wewen
Konon katanya disebut rumah
Mewah dan megah disebut kaya
Nyatanya tidka jauh dari penjara
Sendiri dan terkunci
Kutukan apa ini?
Dulu ….
Aku pernah menangisimu
Memaksamu tersenyum di dalam menara itu
Rapunfell
Ia tidak tahu kata benci
Ibu tiri bermain api
Rambut emas pun bisa jadi hati
Sesekali katakanlah Rapunfell
Kau begitu menderita
Kau begitu kesepian
Rapunfell adalah temanku
Kini aku menjadi dirimu
Wewen, di Balung sendirian
Harap Tak Mati
Oleh: Vira
Di senja yang meredup, bayangan cinta terkulai,
Seperti daun yang gugur, perlahan terbawa angin sepi.
Rindu merajut benang biru, dalam sunyi yang tak terelakkan.
Dalam pelukan senja, kenangan menyisakan luka,
Hati ini, labirin cinta yang tak kunjung terurai.
Sesaat seperti bintang-bintang yang redup, begitulah cinta kita.
Lalu, malam berbisik, menyampaikan rindu yang terpendam,
Di antara bintang yang gemilang, cinta kita merajut hari.
Namun, dalam sendu ini, masih ada harap, bahwa cinta tak pernah mati.
Jejak Syahdu
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
di pelataran rumah bersama langit senja
gelak tawa nan padat renjana menghiasi
mengukir jejak kenangan pelipur hati
berlabuh syahdu dalam riuh kebahagiaan
senja melukiskan damai penuh kasih
paras tersenyum bahagia
mata, saksi utuh memandang
memori kian terperangkap
dekap hangat, saling mendekap
bagai tiang kokoh dalam terpaan badai
penuh kasih terjalin setiap deru napas
mengisi puing dalam ruang padat asmara
Situbondo, 28 Juni 2021
Sudahi Saja
Oleh: Vira
Di halaman hati yang sunyi, kutanam bunga paling megah,
Nyatanya kelopak cinta pun layu, tersapu tak tersisa untukku.
Bersama mata yang berkaca,
Menari perlahan di kenangan yang dulu indah.
Sekarang semua tlah pecah,
Kepingan kaca semakin digenggam semakin terluka.
Oh sadarlah, kisah kita, setebal lapisan kabut yang mengambang.
Akhirnya dihempaskan oleh badai yang tak terduga.
Hilang ditelan gelap, tanpa kejelasan yang tersisa.
Dan sekarang, hanya puisi-puisi sunyi yang bersaksi,
Cinta yang tak lagi bersua, tinggal di antara baris-baris kata.
Pada akhirnya, kita adalah puisi yang tak pernah selesai, menyisakan rasa sesak dalam setiap titik.
Kira-Kira
Oleh: Anon
Aku kira dengan punya keluarga semuanya akan bahagia saja
Aku kira dengan punya teman aku bakal bahagia saja
Aku kira dengan punya tongkrongan semuanya akan bahagia saja
Aku kira saat penyanyi kesukaanku mengeluarkan lagu aku akan bahagia saja
Aku kira IPK bagus membuatku bahagia saja
Aku kira punya pengalaman menarik akan membuatku bahagia saja
Aku kira pacaran akan membuatku bahagia saja
Aku kira bangun pagi dan menjalankan aktivitas akan bahagia saja
Aku kira bisa memasak membuatku bahagia saja
Aku kira membeli komik akan membuatku bahagia saja
Kira-kira kehidupan ada untuk membuat kita bahagia
Melepas Peluk
Oleh: Vira
Di depan cermin, tubuh kita menjadi narasi bisu
Pelukan yang perlahan menajdi senyap, terjalin di lekuk-lekuk luka.
Saat tatap mata bertemu, kita bercerita tanpa kata.
Lengan yang mencoba memeluk erat,
Namun, dalam serapan angin yang terhempas.
Terasa kosong, seperti pelukan yang tak pernah mencapai hati.
Dalam jalan-jalan tanganku di punggungmu.
Sekan merayap perlahan menemui rahasia yang terpendam.
Tergetar hati, kita menari sendu.
Sadar tanganmu melepaskan jalinan jemari,
Seperti lembaran-lembaran yang terputus,
Hati ini seakan hanyut dalam sungai luka yang tak terduga.
Akhirnya, tubuh kita berdua menjadi jauh,
Dalam keheningan yang terpahat di relung-relung dada.
Kita melukis akhir dengan bahasa tubuh,
Kesedihan tercipta, terasa nyata dan ada.
Bara
Oleh: Nurfilla Oktaviyanti
kita adalah bara menyala di tengah badai
menghidupkan gelak tawa di tengah bising cuatan manusia
percikan canda nan hangat peluk bersama
tak padam hingga Sang Esa yang memisah
malam merangkak perlahan, bintang pun benderang silap netra
melingkar penuh kasih memintal cerita
bersama guyub bahagia tak terlupa
badai berusaha membinasakan, hanya Sang Esa yang bisa memadamkan
benar saja, bara itu kehilangan satu
berubah menjadi abu yang tetap panas
merangkul bara besar agar lebih menantang
dan tetap berkobar meski cacat
Situbondo, 10 Agustus 2024
Mentari Sepulang Sekolah
Oleh: Triandika Kirani
Menunggu perihal waktu
Yang tidak tahu kapan datangnya
Memikirkan penantian
Yang tak ada habisnya
Benar mengungkapkan rasa
Sepulang sekolah
Berlari, jalanan kota bersaksi
Ketika kaki mengejar besi tua beroda,
Mentari bagi pelita tersesat arah
Sungguh menyesakkan bayang
Bila melaju tanpa harapan
Namun, sempat saja tawa melihat
Masih ada kehadirannya
Menunggu di ujung kehidupan,
Termakan usia, menjemput hidangan
Diri tersengal dalam pintu masuk
Suara-suara menunggu rumah menghentikan langkah
Mendongakkan keraguan
Mata, dibalas seutas senyum
Yang menyambut dari tempat duduknya
Bisik kepala pun menerka
“haruskah di depannya atau di sampingnya?”
Sedang Bahagia
Oleh: Vira
Di antara senyuman yang saling bertaut, kita menari,
Melodi asmara mengalun dalam langkah-langkah kita yang serasi.
Saat mata kita bersatu, dunia terasa hangat dan penuh warna,
Sedikit geli dibuatnya.
Dalam pelukan yang erat, terasa kehangatan abadi,
Seakan waktu terhenti, dan hanya kita berdua di sini
Di sudut-sudut bibir, terlukis kata-kata sayang.
Mengukir cerita yang tak terlupakan di dinding hati
Dalam sorot mata, ada janji abadi yang terpancar
Dan kita melangkah bersama, mengarungi samudra rasa,
Tangan di tangan, seperti kompas yang membimbing kita.
Pada akhirnya, cinta kita seperti kisah tak berujung, merajut kebahagiaan abadi
Dalam imajinasi yang tak pernah berhenti
ASTA SIRNA
Oleh: naaltf
Nelangsa aku
Menatapi pria terbaring di ranjang
Dengan banyak selang tertanam dalam raganya
Astanya meneteskan cairan merah
Meninggalkan bekas hemoglobin di ranjang
Tangis tak terbendung
Membayangkan nasib ke depannya
Penyatuan tali tembaga merubah hidupnya
Buana suram berkelanjutan
Dipaksa kuat
Menapak menyusuri jalanan gelap
Andai roda berputar balik arah
Pernyataan pertama yang terlontar
“Bolehkah kembalikan astanya, Tuhan?”
Jember, Juni 2016
Ohh VangsaT (1) vs. ANON-ANIN (0)
Oleh: ANON
Hari ini kami berdua kalah telak
Tidak ada yang saling melindungi kali ini
Pikiran dan hatinya seperti sehabis terkena tabrak lari
Kami berdua tidak dapat melakukan apa-apa lagi
Dengan tangis yang jatuh sendiri
Tangis yang sama sekali tidak diinginkan, kami berdua hanya bisa saling memeluk diri
Karena pilihan dan batin sudah bukan milik kami lagi
Gerhana dan Kesaksian Dadu
Oleh: Triandika Kirani
Gerhana dan Kesaksian Dadu
Satu mata dadu
Menyaksikan arah jalan,
hingar-bingar kendara kota
dan bayang lapar manusia
Dua mata dadu
Mendengarkan sapa
sepasang muda
pada pertemuan tak semestinya
Tiga mata dadu
Meraba rajut impian
tangan yang menyatu dalam genggam
bayang-bayang penumbra
Empat mata dadu
Melukis suka
berwarna senyum simpul
yang kan merekah dengan tawa
Lima mata dadu
Meremang ragu pijakan cita
yang terukir parsial
bermula ketidakadilan atma
Enam mata dadu
Menguatkan sinyal
tanpa kata, tanpa rupa
kegelapan benar datang
Kini, dadu dan enam matanya bernostalgia
Tergantung dalam tujuan
di tengah kesaksian
selagi gerhana
Riwayat Gending
Oleh: Adi Saputra
Riwayat Gending
Kau geliat dalam gua yang
tak dilirik matahari dan bulan.
Kau terus dialiri sungai yang
kian deras sejak ditiupkannya
angin pertamamu. Kau dengar
gema dan gending, gending ber-
gema, gema dari gending. Aneh.
Kau mengangguk.
Kau rengek yang mendobrak
gua sesak gending. Arus sungai
mengalirkanmu hingga laut. Dan
kau kelak akan menjadi gua.
Kau dituntut dituntun meriuhkan
lautmu dengan gending.
“Nduk, mesemo ring sak laik-laike gending.”
Dia luhur yang membacakanmu
dongeng pagi buta di hadapan kayu
& arang. Mengisah selayak tungku.
Menguliti ayam lalu kelapa dengan
bergending. Dan ketika tungku di
hadapannya padam, kau mengangguk.
Tubuhmu sepenuhnya ialah gending.
Dia berhasil menghidang riwayat.
Bumi Pandalungan, 18 Mei 2024
Padamu dan Cinta
Oleh: Fandi
Jika sapardi mengatakan “aku mencintaimu dengan sederhana”
Maka aku akan berkata,
Aku ingin mencintaimu dengan gila,
Dengan kata yang tak bisa disampaikan
Hati kepada otak yang menjadikannya gila
Aku ingin mencintaimu dengan rendah hati,
Dengan kegelapan yang kau punya
Aku tak akan lantang mengatakan aku akan menjadi lilin penerang.
Namun jika engkau adalah gelap, maka aku akan menjadi gulita.
Karna mencintaimu tak harus merubah
Rumah Para Pencari Rumah
Oleh: ANON
Ruangan paling besar kata-nya ini selalu ada orang.
Walaupun sepi, pasti ada saja yang hatinya gatal untuk datang.
Karpet-karpet “mamel” ini menjadi rekomendasi nomor satu, untuk mereka yang ingin hibernasi di situ.
Dapur yang lebih mirip dengan jalanan pasar itu, lebih paham masalah perut untuk mereka yang perlu makan dengan urut.
Lantai-lantai ini kadang juga dikira pasir bagi kucing-kucing yang seenaknya parkir kotoran di sana.
Kursi dan meja ini pun tempat paling menyenangkan di pagi hari untuk mereka yang tidak sengaja bangun duluan.
Halaman depan yang berkali-kali disapu tapi kotor lagi itu, jadi salah satu opsi cari keringat di sini.
Orang-orang di sini sudah pasti datang dan pergi, seperti biasanya (mau gimana lagi)
Tapi semoga sedikit banyak yang pernah di sini, dapat berbagi, mengisi, rumah yang akan selalu dicari.
Malam yang Tercecer di Matamu
;untuk lelaki yang rajin tertawa saat lelah
Untuk kebahagiaan yang terlampau membuncah, aku berlutut di persimpangan matamu, memeluk khawatir segalanya akan pergi saat pagi tiba.
Setiap malam, aku tertidur dengan mata tertutup, namun namamu begitu rajin hadir pada bibirku yang yang lupa cara mengantuk.
Kubiarkan diriku berjalan pada matamu yang tak pernah berhenti menangis.
Di tempat yang kering, aku sadar betul bahwa diriku tak akan pernah berhasil menjadi bunga, tapi pada pipimu yang selalu basah, aku menanam segala hal berlebih-lebih, sampai lupa bahwa air matamu adalah hujan asam, di mana aku akan mati tenggelam.
Di hadapanmu, aku selalu nyaris kehilangan segalanya, selain tawa
Tuan, jangan bicara terlalu nyaring, sebab setiap kebahagiaan dan luka yang keluar darimu, adalah cinta yang membuatku lupa jadwal makan siang.
Saat bulan bersiap jatuh di arah timur, aku melihat dukamu sembahyang mendahului Subuh
Sedang sepasang kakiku yang telanjang, mencari jalan menuju sujudmu yang khusyuk.
Bisakah kau mengikutiku ke rumah tawa?
Aku ingin kalian berkenalan ulang dan saling jatuh cinta. Supaya aku tetap bisa menumpang hidup di sana.
Nanggelan, 17 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar